MAKALAH
ASPEK PSIKOSOSIAL DALAM KESELAMATAN KERJA
(disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Industri Kelas B)
Disusun oleh :
Dwi Aulia 142110101001
Nur Lailyah 142110101011
Driya Paramarta 142110101021
Indah Ernawati 142110101032
Denti Tarwiyanti 142110101045
Alifaida Aulia 142110101055
Rias Ekasari 142110101065
Isminingsih 142110101075
Kevanda Kania E 142110101085
Mas Amaliyah 142110101096
Retno Ernita S 142110101106
Dewi Purnamasari 142110101205
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Aspek-aspek Psikososial dalam Keselamatan
Kerja ”. Makalah ini membahas tentang aspek-aspek psikososial
yang mempengaruhi dalam keselamatan kerja pekerja. Serta makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah psikologi industri yang sedang di temouh
mahasiswa. Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu
dr.Ragil Ismi Hartanti, M.Sc. selaku dosen PJMK Psikologi Industri
2. Ibu
Anita Dewi Prahastuti Sujoso, S.KM,M.SC selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Industri
3. Ibu
Reni Indrayani, S.KM., M.KKK. selaku
dosen pengampu mata kuliah Psikologi Industri
4. Bapak
Kurnia Akbar Ardiansyah, S.KM., M.KKK. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Industri
5. Orang tua kami, atas segala restu dan dukungannya
dalam bentuk apapun
6. Teman-teman kelompok 1 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
atas segala bentuk kerjasamanya
Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berbagai sumbang saran yang bertujuan
untuk penyempurnaan makalah dengan
ikhlas penulis terima sebagai umpan balik untuk bahan evaluasi. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbang
pikir yang positif dan bermanfaat.
Jember, 26 Juli 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuntutan Kerja (Jobs Demands)
2.2. Symptom
2.3. Kebisingan
2.4. Shift Kerja
2.5. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1. Studi Kasus 1
3.2. Analisis Studi Kasus 1
3.3. Studi Kasus 2
3.4. Analisis Studi Kasus 2
3.5. Studi Kasus 3
3.6. Analisis Studi Kasus 3
BAB 4 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keefektivan kerja seseorang tidak hanya
hasil dari peralatan kerja dan lingkungan banyak sekali faktor yang dapat
menyebabkan terhambat dan terganggunya kinerja seorang pekerja yang dapat
berdampak pada keefektifan pekerja . Keefektivan dalam bekerja merupakan hasil
dari bagaimana pengaturan tugas dan waktu kerja yang di terapkan pada pekerja.
Dan bagaimana sebuah perusahaan atau tempat kerja melakukan kontrol setelah
pekerjaan di laksanakan. Pengaturan tugas dan waktu serta kontrol di tempat
kerja merupakan aspek yang sangat penting yang berpengaruh pada aspek psikososial
dalam bekerja dan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pekerja dan
keselamatan pekerja dalam bekerja
Aspek psikososial merupakan salah satu
aspek penting yang dapat mempengaruhi kineja pekerja dalam bekerja dan
berdampak pada keselamatan pekerja. Aspek- aspek psikosial dapat terganggu
apabila tidak adanya kontrol akan pembagian waktu dalam suatu pekerjaan dapat
mempengaruhi aspek-aspek psikologi pekerja. Beban kerja yang berlebih dan tidak
terkontrol nya pembagian waktu , tidak adanya kontrol di tempat kerja dapat
melahirkan kondisi kritis kondisi yang kritis mengakibatkan pekerja sangat
dangkal, repetitif, kontrol yang kaku. Dan menimbulkan pekerja bosan, overload
karena banyak nya tuntutan pekerjaan yang harus dipenuhi, lelah yang dapat
menyebabkan pekerja kehilangan konsentrasi dalam bekerja sehingga menyababkan
pekerja cenderung melakukan kesalahan dalam bekerja yang dilakukan dalam waktu
yang lama tanpa adanya istirahat. Bekerja secara terus menerus tanpa adanya
istirahat dan pengaturan waktu serta
kontrol dalam bekerja inilah yang
seringkali menjadi penyebab munculnya beban kerja atau work load baik fisik
atau mental yang dapat mempengaruhi peforma pekerja dalam bekerja dan menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja
Aspek- aspek psikologis yang harus di
perhatikan dalam pekerja meliputi tuntutan dan beban kerja fisik pekerja,
tuntutan pekerjaan yaang mempengaruhi mental pekerja, seperti pekerjaan yang
membutuhkan konsentrasi dan berfikir keras yang dapat berdampak akan mental
pekerja, aspek lingkungan kerja yang
dapat mengganggu pekerja seperti kebisigan, pencahayaan dan desain tempat
kerja, peralatan pekerja, aspek pengaturan waktu dalam bekerja yaitu lama jam
kerja dan waktu istirahat, serta aspek perlindungan utuk pekerja baik
perlindungan fisik akan bahaya kerja, maupun perlindungan seksual yang
merupakan aspek psikologi dalam bekerja yang penting dalam mempengaruhi
performa pekerja dan angka terjadinya kecelakaan akibat kerja
Pengaturan dan kontrol yang tepat terhadap
aspek-aspek psikososial dalam bekerja dapat membuat pekerja merasa aman dalam
bekerja, bekerja dengan menyenangkan dan menggunakan seluruh tenaga nya
sehingga dapat menghasilkan performa yang unggu dalam bekerja sehingga dapat
menimbulkan kebuasaan dan kebahagiaan pada pekerja dalam menjalankan
pekerjaannya. Kondisi fisik dan mental yang baik akan menciptakan performa yang
baik dalam bekerja serta meminimalisisr
terjadinya kesalahan dalam bekerja yang menjadi penyebab terjanya kecelakaan
akibat kerja.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aspek psikososial dalam
keselamatan kerja
2. Apa saja aspek-aspek psikososial dalam keselamatan
pekerja?
3. Bagaimana aspek-aspek psikososial dalam
mempengaruhi keselamatan kerja ?
4. Mengapa aspek psikososial mempengaruhi
keselamatan pekerja ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian aspek-aspek
psikososial dalam keselamatan kerja
2. Untuk mengatahui aspek apa saja yang
mempengaruhi dalam keselamatan kerja
3. Untuk mengetajui bagaiamana aspek-aspek
psikososial mempengaruhi keselamatan pekerja
4. Untuk mengetahui mengapa aspek psikososial
mempengaruhi keselamatan pekerja
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tuntutan
Kerja (Jobs Demands)
Dalam
pelaksanaan kerja sehari-hari pada kenyataannya banyak karyawan yang
overloaded, karna banyak tuntutan kerja, sehingga menjadi lelah dan mempunyai
kecenderungan untuk melakukan kesalahan pada pekerja yang di lakukannya pada
waktu yang lama tanpa istirahat. Hal inilah yang sering kali menjadi penyebab
munculnya beban kerja atau work load baik fisik maupun mental yang pada
gilirannya akan mempengaruhi performansi kerja. Oleh karena itu untuk membuat
kerja agar menjadi lebih baik di perlukan suatu upaya yang mengarah kepada
suatu prinsip, yaitu memberikan otonomi yang memadai kepada karyawan untuk
bertanggung jawab dan menggunakan kemampuannya.
Hal ini bisa
dikembangkan kedalam prinsip-prinsip yang lebih khusus yang meliputi:
1.
Tuntutan kerja harus rasional secara mental dan
bervariasi
2.
Kerja harus memungkinkan karyawan untuk terus
belajar secara kontinyu
3.
Karyawan harus memiliki wilayah minimal dalam
pegambilan keputusan
4.
Upaya dan capaian-capaian karyawan harus
terlihat di tempat kerja
5.
Kerja harus berhubungan dengan kehidupan lain
seperti arti kerja dalam kehidupannya
6.
Kerja harus memungkinkan untuk timbulnya suatu
perasaan tentang masa depan (Galer, 1987)
Secara umum
tuntutan kerja di bagi dalam 2 kategori, yaitu tututan kerja fisik (physical job demand) dan tuntutan kerja
mental (mental job demands).
1.
Tuntutan Kerja Fisik (Physical Job Demands)
Tuntutan
kerja fisik suatu kondisi yang secara langsung berasal dari beban kerja fisik
(physical work load) dan mempengaruhi tubuh atau membutuhkan tubuh untuk
menggunakan posture tertentu selama waktu tertentu
Tuntutan
kerja fisik dapat meliputi gerakan-gerakan fisik sebagai berikut: membungkuk
atau memutar, mengangkat benda berat, membungkuk ke depan tanpa penopang tangan
atau lengan, memutar, posisi tanganyang tingginya melebihi bahu,
gerakan-gerakan yang tidak nyaman, postur tubuh yang tidak nyaman, bekerja
keras, jumlah tugas, dan banyaknya tenaga yang di butuhkan.
2.
Tuntutan Kerja Mental (Mental Job Demands)
Tuntutan kerja
mental adalah suatu kondisi yang secara langsung berhubungan dengan
proses-proses mental apa saja yang terlibat dan di butuhkan dalam bekerja. Hal
ini bisa meliputi keadaan-keadaan seperti: selalu memikirkan pekerjaan,
mengerjakan beberapa hal dalam waktu yang bersamaan, perhatian terhadap
pekerjaan yang hati-hati, kesulitan-kesulitan mengerjakan tugas yang di hadapi
oleh karyawan baik yang harus di bantu ataupun yang tidak perlu di bantu oleh
orang lain (Waluyo, 1984)
2.2.
Symptom
Symptom
adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri
pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja.
Perasaan tertekan seperti nervous, tertekan dan kesulitan tidur, di hubungkan
dengan keluhan-keluhan pada punggung. Symptom yang berhubungan dengan kerja
bisa merupakan manifestasi dari stress pada tubuh maupun pikiran pekerja.
Simptom ini bisa di bagi dalam 2 kategori, yaitu simptom fisik (physical
symptom) dan simtom mental (mental symptom).
1.
Gejala Fisik (Physical Symptom)
Gejala fisik
berhubungan dengan keadaan sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu yang antara
lain meliputi: leher, bahu,, siku, tangan, punggung atas, punggung bawah,
pinggul, lutut, kaki atau pergelangan kaki (Waluyo, 1984)
2.
Gejala Mental ( Mentally Symptom)
Gejala
mental berhubungan dengan suatu keadaan keluhan yang terasa dalam psikis
seseorang, misalnya merasa lelah atau tidak ada gairah, sangat lelah setelah
bekerja, tertekan oleh persyaratan dan waktu kerja, merasa tertekan, merasa
marah, tak bersemangat, tertekan atau selalu memikirkan pekerjaan, sulit tidur,
merasa jengkel, tidak bahagia, merasa tidak bisa istirahat, gangguan pada
perut, sakit kepala, detak jantung tidak teratur, tidak bersemangat setelah
mendapat kesulitan, dan tidak bergairah setelah menghadapi situasi kritis
(Waluyo, 1984).
2.3.
Kebisingan
Kebisingan merupakan salah satu dari
beberapa faktor fisik yang dapat
mempengaruhi kesehatan pekerja. Kebisingan
sangat perlu diperhatikan dalam tempat kerja karena pengaruhnya terhadap kesehatan
pekerja.
Gales (1987)
menyebutkan tiga alasan utama mengapa kebisingan bisa dianggap sebagai suatu
masalah yang harus diperhatikan, pertama kebisingan tidak disukai orang, kedua
kebisingan merusak pendengaran dan ketiga bisa berpengaruh buruk pada efisiensi
kerja. Diterangkan oleh Bridger (1995) bahwa kebisingan adalah salah satu
pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi. Sumber kebisingan bermacam-macam,
misalnya mesin pabrik, pesawat terbang, lalu lintas kendaraan, peralatan
kantor, dan lain-lain.
Lebih lanjut
Bridger (1995) mengatakan bahwa kebisingan adalah bunyi-bunyian pada amplitude
tertentu yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi komunikasi. Sedangkan
bunyi adalah sensasi auditori yang dihasilakan oleh gelombang energi yang
merambat melalui media sampai ke telinga. Bunyi mempunyai frekuensi dan
amplitudo. Frekuensi akan menentukan tinggi rendahnya nada sedangkan amplitudo
akan menentukan intensitas atau kadar suara. Bunyi dapat diukur secara obyektif
sedangkan kebisingan adalah fenomena subyektif. Oleh karena itu kadang-kadang
kebisingan juga disebut sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang mengganggu
atau bunyi yang menjengkelkan. Satuan ukuran frekuensi adalah Hertz (Hz)
sedangkan ukuran amplitude adalah Decible (dB).
Telinga
manusia hanya dapat mendengar dengan frekuensi 16-20.000 Hz dan amplitude 0-140
dB. Lamanya menghadapi kebisingan dan kontinyu tidaknya kebisingan menjadi
factor terjadinya gangguan pada pendengaran manusia. Tingkat maksimal yang
diperbolehkan untuk menghadapi kebisingan selama 8 jam kerja secara kontinyu
adalah 85 dB. Jika tingkat kebisingan berada diantara 65-70 dB, daya
konsentrasi mulai berkurang dan pembicaraan mulai terganggu. Kondisi ini tidak
sesuai bagi pekerjaan-pekerjaan kantor. Idealnya tingkat kebisingan dapat
diatur pada tingkat 55-60 dB. Tetapi jika hal ini tidak mungkin untuk
dilakukan, misalnya mesin-mesin di pabrik, pekerjaan di bengkel, yang tingkat
kebisingannya sukar untuk diturunkan, sehingga telinga harus diproteksi. Ada
dua bentuk alat proteksi pendengaran yaitu earplugs dan earmuffs. Earplugs
memiliki bentuk yang lebih kecil, mudah dibawa kemana-mana, nyaman, lebih murah
daripada earmuffs. Akan tetapi membutuhkan waktu penyesuaian yang lebih lama.
2.4.
Shift Kerja
Shift kerja
dijalankan jika dua karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam
urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama. Secara individual, shift kerja
berarti hadir pada suatu tempat yang sama (yang disebut shift kerja kontinyu)
atau dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi).
Beberapa
sistem kerja menggunakan 8 jam per hari selama 5 hari per minggu. Dengan
kecenderungan ini, maka jumlah hari dan jam kerja semakin berkurang, menjadikan
karyawan memperoleh weekend dua hari untuk bebas kerja sehingga bias mengurangi
kelelahan kecelakaan kerja dan memperoleh kapasitas kerja baru. Saat ini hampir
semua industri menerapkan sistem produksi kontinyu. Selain untuk mengoptimalkan
daya kerja mesin-mesin industri yang umumnya mahal, juga untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan. Akibatnya karyawan bekerja pada malam hari yang
berakibat menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga dan sosial serta masalah
ksehatan. Bekerja pada malam hari akan menurunkan produktivitas dan
meningkatkan kecelakaan kerja.
Sistem kerja
shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing-masing selama 8
jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore, dan malam.Shift
kerja yang menggunakan pembagian dari jam 08.00-16.00, 16.00-24.00, 24.00-08.00
mempunyai beberapa kelebihan baik secara fisiologis maupun sosial.
Ada dua
pesrsyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift, yaitu kehilangan
tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan meminimalkan kelelahan dan
harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan kntak sosial.
Perencanaan
shift yang banyak digunakan adalah sistem 2-2-2 yang dinamakan metropolitan
rota dan sistem 2-2-3 yang dinamakan continental rota. Keduanya adalah rotasi
jangka pendek yang memenuhi persyaratan ergonomic.
Pemilihan
pada model shift kerja sering dipengaruhi oleh alasan-alasan ekonomi, dan
organisasional. Seseorang menerima sistem shift kerja tertentu ditentukan oleh
keseimbangan pertimbangan professional dan personal, termasuk aspek fisiologis,
psikologis, dan sosial. Masalah-masalah kesehatan juga bias bersumber dari
penggunaan sistem shift kerja tertentu. Pekerja yang bekerja malam secara
permanaen juga sering memiliki keluhan kurang tidur dan kelelahan. Kriteria
yang bias digunakan untuk mempertimbangkan penggunaan suatu sistem shift kerja,
diantaranya adalah panjang konsekutif shift malam harus sekecil mungkin, setiap
shift malam harus diikuti sedikitnya paling tidak 24 jam istirahat, setiap
rencana shift harus memiliki akhir minggu yang bebas, jumlah hari bebas pada
akhir tahun harus paling tidak sebanyak dari kontinyu pekerja (Koemer, 1994).
2.5.
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
A.
Pelecehan/Kekerasan
Pelecehan
atau kekerasan dalam arti Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu perihal yang
bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain,
atau ada paksaan. Dari penjelasan di atas, pelecehan merupakan wujud perbuatan
yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau
penderitaan orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa
paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang
dilukai (Usman dan Nachrowi, 2004).
Pelecehan
seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya bentuknya dapat
brupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
Aktivitas seksual bisa dianggap sebagai pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur
berikut :
·
Adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh
pelaku
·
Kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku
·
Kejadian tidak diinginkan oleh korban
·
Kejadian tidak menyenangkan korban
·
Mengakibatkan penderitaan pada korban.
Secara umum
pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual 88,1% dilakukan oleh
supervisor dan 30% oleh teman sekerjanya. Sedangkan korban 70% adalah perempuan
dan sedikit sekali korban laki-laki. Besarnya korban pada perempuan ada
kaitannya dengan kondisi umum dimana perempuan memiliki kerentanan terutama
apabila ia lemah secara ekonomi. Namun demikian ada beberapa variabel yang
berhubungan dengan pelecehan seksual, diantaranya ditemukan bahwa pelecehan seksual
mudah dan sering terjadi pada perempuan yang memiliki karakteristik usia lebih
muda, pekerja baru, perempuan yang masih single, tingkat pendidikannya rendah,
dan pekerja magang atau partimer.
Jadi
kondisinya semakin jelas bahwa disamping harus melakukan pekerjaannya
sebagaimana yang harus dilakukan laki-laki, pekerja perempuan masih dituntut
untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat
kerjanya sendiri. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan pada umumnya, bahwa
ancaman bisa terjadi diluar tempat kerjanya.
B.
Seksualitas
Defenisi
seksualitas yang dihasilkan dari Konferensi APNET (Asia Pasific Network For
Social Health) di Cebu, Filipina 1996 seksualitas adalah ekpresi seksual
seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung
aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan
dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasarkan pada ciri seks
secara biologis, tetapi juga merupakan suatu aspek kehidupan manusia yang tidak
dapat dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain (Semaoen, 2000).
C.
Tempat kerja
Berdasarkan
UU No. 1 Tahun 1970 yang dimaksud dengan tempat kerja adalah tiap ruangan atau
lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja
bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja ialah
semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian
atau yang berhubungan dengan tempat tersebut.
Dari
pengertian tersebut, tempat kerja mencakup tidak hanya ruangan secara fisik
sebagai tempat aktivitas kerja selama delapan jam sehari, seperti kantor atau
pabrik, namun juga lokasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan karena
adanya tanggung jawab dalam hubungan kerja, seperti acaraacara sosial yang
terkait dengan pekerjaan, konferensi dan pelatihan, perjalanan dinas, makan
siang, makan malam bisnis, atau kampanye promosi yang diselenggarakan untuk
menjalin usaha resmi dengan klien dan calon rekanan, maupun percakapan lewat
telepon dan komunikasi lewat media elektronik. Sehingga tempat kerja meliputi
tak hanya ruang fi sik dimana kerja dilakukan selama delapan jam sehari tetapi
juga mencakup semua jam kerja diluar delapan jam di lokasi-lokasi di luar ruang
fi sik kantor.
D.
Pelecehan Seksual
a.
Pelecehan seksual
Pelecehan
seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh yang
berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang
berorientasi seksual yang membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung
dan/atau terintimidasi. Pelecehan seksual juga meliputi berbagai situasi di
mana perilaku yang telah disebutkan sebelumnya disertakan ke dalam persyaratan
kerja atau ketika perilaku yang sedemikian menciptakan lingkungan kerja yang
mengintimidasi, tidak ramah atau tidak layak. Dengan kata lain, pelecehan
seksual adalah:
1)
Penyalahgunaan perilaku seksual;
2)
Permintaan layanan seksual;
3)
Pernyataan verbal atau aksi fisik atau bahasa
tubuh yang menyiratkan perilaku seksual, atau;
4)
Tindakan yang tidak diinginkan yang berkonotasi
seksual:
a.
Orang yang menjadi sasaran telah menyatakan
secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki;
b.
Orang yang menjadi sasaran merasa terhina,
tersinggung dan/ atau terintimidasi oleh perilaku tersebut; atau
c.
Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi
bahwa orang lain akan merasa tersinggung, terhina dan/atau terintimidasi oleh
perilaku yang demikian.
b.
Tindakan yang tidak diinginkan
Tindakan yang tidak diinginkan adalah tindakan yang
tidak diminta atau dipancing oleh pekerja, dan pekerja yang bersangkutan
menganggap tindakan tersebut tidak diharapkan atau tidak sopan. Perilaku tidak
diinginkan dilihat dari sudut pandang orang yang merasa mendapat pelecehan seksual.
Dalam hal ini yang penting bahwa tindakan tersebut dipandang dan dialami oleh
penerimanya, bukan maksud yang ada dibaliknya. Tindakan tidak diinginkan dapat
dilihat dengan ciri:
·
Korban telah menjelaskan bahwa perilaku tidak
diinginkan,
·
Korban merasa terhina, tersinggung dan / atau
terintimidasi oleh perilaku, atau
·
Pelaku menyadari dengan perbuatannya akan
mengakibatkan orang lain tersinggung, dipermalukan dan / atau terintimidasi
oleh perbuatannya.
c.
Kewajaran terjadinya Pelecehan Seksual
Pengukuran kewajaran dalam pelecehan seksual dapat
dilihat apabila perilaku tersebut mengarah kepada tindakan pelecehan seksual
sehingga mengakibatkan timbul rasa tersinggung, malu atau takut. Untuk itu
dapat dilakukan tes objektif yang didasarkan pada keadaan seseorang telah
berusaha untuk mengantisipasi bahwa perilaku tersebut akan menimbulkan efek
memalukan atau menakutkan ini.
Selain itu perilaku ini harus dipertimbangkan dalam
konteks “kejadian”, perilaku tertentu bahwa tidak hanya mengacu pada tingkat
seringnya kejadian, keadaan terintimidasi, dapat pula mengacu pada perbedaan
keadaan.
E.
Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara
luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual yaitu:
1.
Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak
diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit,
melirik atau menatap penuh nafsu.
2.
Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/komentar
yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau
penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
3.
Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau
gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat
dengan jari, dan menjilat bibir.
4.
Pelecehan tertulis atau gambar termasuk
menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan
lewat email dan mode komunikasi elektronik lainnya.
5.
Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas
permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terusmenerus dan tidak diinginkan,
ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat
seksual.
Pelecehan seksual dapat terjadi apabila :
a.
Perbuatan tersebut mempunyai efek untuk
menciptakan sebuah lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau
menyinggung perasaan
b.
Di-quid pro quo, atau ’ini untuk itu’ yaitu
suatu situasi ketika berkomitmen pengusaha, manajemen, pengawas, anggota
co-manajemen atau pekerja melakukan atau berusaha untuk mempengaruhi proses
hubungan kerja atau kondisi kerja atau pelamar kerja dengan imbalan seksual.
c.
Perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh
korban dan menyinggung, sehingga merupakan perbuatan yang bersifat subyektif
dari perspektif penerima.
F.
Jenis-Jenis Pelecehan Seksual
Berdasarkan jenisnya, pelecehan seksual dapat dibagi
menjadi :
a.
Quid Pro Quo
Quid Pro Quo berasal dari bahasa latin, yang artinya
”this for that”. Ini untuk itu. “sleep with me and you get the job”. Pelaku
menerapkan sistem trading, ini ditukar itu, pekerjaan ditukar dengan sex. Jika
korban menyetujui (karena terpaksa) untuk memenuhi transaksi itu maka ia akan
mendapatkan pekerjaannya. Jika tidak, ia tidak akan pernah mendapatkan
pekerjaan itu. Peristiwa ini juga sering disebut sebagai penyuapan seksual
(sexual bribery). Atau ada juga yang dimaksudkan untuk mengancam, misalnya
ungkapan berikut ini: “sleep with me or you are fired”. Jika korban tidak mau
menuruti transaksi itu maka ia akan kehilangan sesuatu. Misalnya pemberhentian,
dipindah, ditolak, atau dohambat perjalanan karirnya. Untuk mempertahankan
pekerjaannya, mungkin kareana alasan ketidakberdayaan ekonomi atau karena lebih
memilih mempertahankan hidup maka ia terpaksa memenuhinya. Dalam hal ini pelaku
memaksa korban untuk menyetujui transaksi yang berat sebelah. Menyetujui atau
tidak bagi korban sama saja yaitu tetap mengalami penderitaan, sedangkan
keuntungan tetap hanya pada pihak pelaku.
Jenis ini sering dimanfaatkan untuk tujuan, misalnya
untuk promosi, penilaian performance atau berupa janji-janji mendapatkan
sessuatu atau sekedar hanya menakuit-nakuti dan mengancam korban. Pada intinya
pelaku menggunakan seks sebagai persyaratan untuk memperoleh sesuatu agar tidak
kehilangan sesuatu. Namun apabila dalam memenuhi transaksi itu korban merasa
senang atau menikmatinya karena ia juga membutuhkannya, maka kejadian tersebut
tidak termasuk dalam kategori sebagai pelecehan seksual. Hal itu mungkin
merupakan jenis hubungan percintaan dan lainnya.
b.
Hostile Environment
Hostile Environment berkaitan dengan suasana atau
lingkungan organisasi yang dicirikan oleh keadaan yang penuh dengan simbol,
ucapan, tulisan, tindakan yang berkonotasi seksual yang mengakibatkan perasaan
tidak menyenangkan pada para korban. Berbeda denagn quid pro quo, dalam Hostile
Environment ini tidak ada unsur pertukaran atau syarat seksual yang harus
dipenuhi korban.
Bentuknya bisa berupa tindakan fisik misalnya,
penyerangan seksual yang dilakukan secara agresif dan memaksa, sentuhan atau
rabaan pada bagian tubuh tertentu, berusaha menempel sangat dekat denagn tubuh
korban, mempertontonkan bahan-bahan pornografi. Juga bisa dengan berbentuk non
fisik atau berupa bahasa misalnya merayu, ajakan kencan, membuat lelucon porno,
mengucapkan kata-kata miring tentang wanita dan sebagainya.
Motivasi pelaku adalah untuk memuaskan diri sendiri,
melakukan intimidasi, permusuhan, atau ingin mendapatkan pengakuan bahwa dia
adalah ‘jagoan’ mengerjai kaum wanita di lingkunagan kerja dan mungkin sekedar
ingin mendapatkan penerimaan secara sosial dari lingkungannya yang penuh dengan
konotasi seks. Karakteristik dari lingkungan yang meiliki potensi terjadinya
pelecehan seksual antara lain: program SDM tidak berjalan dengan baik, tidak
memiliki peraturan dan kebijakan tentang pelecehan seksual.
G.
Efek Terhadap Korban
Pelecehan seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi,
mempengaruhi performance kerja korban. Efek langsung yang dialami korban adalah
depresi dan stress pasca trauma. Pengalaman traumatik karena pelecehan seksual
bisa berlangsung sangat lama. Pada beberapa kasus, efek negatifnya berlangsung
selama 11 tahun. Sebenarnya bukan yang menjadi korban secara langsung saja yang
menderita akibat pelecehan seksual ini, tetapi juga mengenai pekerja perempuan
lain yang menyaksikan atau menjadi saksi ketika pelecehan seksual itu terjadi.
Para saksi tersebut juga mengalami stress meskipun tarafnya tidak seberat
korban utama. Hal inilah yang disebut sebagai by stander stress. Hasil
penelitian pada para korban pelecehan seksual ditemukan bahwa 96% mengalami
masalah emosional, 45% mengalami masalah penurunan performasi kerja, 35%
mendapat gangguan secara fisik.
Masalah emosional yang dialami oleh korban seperti
ketakutan, malu, sakit hati, jijik, bingung, merasa terhina dsb. Masalah yang
berhubungan dengan performasi kerja yakni kinerja menurun, banyak membuat
kesalahan, absensi tinggi dsb, sedangkan gangguan fisik yang diderita korban
adalah lemah tidak memiliki tenaga, tidak memiliki nafsu makan dsb.
H.
Teori Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual
Beberapa teori yang disajikan dimaksudkan untuk
menganalisis terjadinya praktek pelecehan di tempat kerja dengan menggunakan
perspektif yang multidimensi. Karena pada kenyataannya, pelecehan seksual tidak
dapat diteropong dari satu sudut pandang saja. Sebab sampai hari ini satu teori
pun tidak dapat menganalisis secara tuntas kasus pelecehan seksual. Demikian
juga belum ditemukan satu litraturpun yang dapat menjelaskan sebab yang paling
penting atau dominan dalam menentukan terjadinya pelecehan seksual. Penggunaan
beberapa model mungkin akan menjadi jawaban yang lebih konfeherensif dalam
menganalisis penyebab terjadinya pecehaan seksual di tempat kerja.
a.
Model tradisional
Model ini memandang bahwa pelecehan seksual adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan psikologis
atau dilakukannya orang yang sedang sakit. Pelecehan seksual adalah orang-orang
yang memiliki dorongan seksual yang tinggi dan tidak dapat mengontrolnya. Model
ini memandang perempuan sebagai objek seksual. Oleh karena itu ia langsung
mencari sasaran jika dorongan seksualnya mulai bekerja. Model ini juga
mempercayai bahwa dorongan seksual dipicu oleh perilaku korban yang genit dan
merangsang. Namun model ini tidak banyak digunakan karena dalam menganalisis
terjadinya pelecehan seksual, tidak memperhitungkan variabel lain dan konteks
sosial dimana hal itu terjadi.
b.
Model Alamiah
Model ini menganggap bahwa manusia memiliki 2
dorongan dasar yang penting dalam hidupnya, yaitu dorongan seksual dan agresi.
Perilaku pelecehan ini dianggap sebagai ekspresi dari kerja hormon-hormon
seksual laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki dipandang memiliki dorongan
seksual yang lebih besar sehingga laki-laki cenderung menjahili perempuan
secara seksual, meskipun di tempat kerja. Selain itu, diasumsikan bahwa
lak-laki dan perempuan secara alamiah memiliki daya tarik-menarik secara
seksual, sehingga di tempat sekalipun laki-laki dan perempuan tetap akan
berinteraksi seksual.
Laki-laki tidak pernah bermaksud melakukan pelecehan
seksual, hal itu hanyalah sebuah hubungan yang lumrah antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu pelecehan seksual dari kaca mata model ini dianggap
sebagai ekspresi normal dari kedua dorongan tersebut dan oleh karenanya
laki-laki lebih sering menjadi agreesor seksual baik ditempat kerja maupun di
tempat lain.
c.
Model Sosio-Kultural
Model ini memiliki asumsi bahwa laki-laki dan
perempuan secara sosial kultural dibesarkan oleh suatu sistem yang menempatkan
mereka sebagai dua belah pihak yang tidak setara. Laki-laki tumbuh dan dibesarkan
dalam suatu ekspetasi tugas dan peran tertentu lebih yang lebih superioir
dibandingkan dengan perempuan. Pelecehan seksual dianggap merupakan refleksi
dan manifestasi dari kultur patriaktris
dalam dunia kerja, dimana laki-lakiadalah yang mendominasi power, pembuat
aturan dan pengontrol pekerja perempuan. Menurut model ini, pelecehan seksual
adalah salah satu mekanisme untuk mempertahankan dominasi laki-laki terhadap
peempuan, baik secara ekonomik maupun dalam bidang pekerjaan.
d.
Model feminist
Model feminist menganggap pelecehan seksual bukan
saja merupakan tindakan yang menyimpang, tetapi juga merupakan manifestasi dari
pola-pola budaya interaksi antara laki-laki dan perempuan yang lebih didasari
oleh ekspetasi dari gender yang mendominasi. Jika tempat kerja didominasi oleh
permpuan maka karakteristik yang diharapkan adalah tempat kerja yang lemah
lembut, kasih sayang, penuh perhatian, memberi dukungan, pengertian, toleransi
menghindari konflik, menjaga hubungan baik dan sifat-sifat lain yang diharapkan
muncul dari perempuan. Sedangkan jika yang mendominasi maka tempat kerja
memiliki krakteristik realistik, rasional, kompetitif, penuh tantangan, asertif
dan sifat laki-laki lainnya
Pelecehan seksual secara potensial secara potensial
lebih banyak terjadi jika perempuan bekerja pada lingkungan yang didominasi
laki-laki. Jika perempuan bekerja pada tempat kerja yang didominasi laki-laki,
pertama kali akan dilihat dan diperlukan sebagai perempuan oleh laki-laki dan
baru kemudian sebagai pekerja. Bagi laki-laki identitas gender pada perempuan
lebih penting dari pada identitas pekerjaannya. Jadi gender adalah persepsi
laki-laki mengenai perempuan. Ironinya, persepsi laki-laki tentang perempuan
tidak selalu benar. Contoh, sikap ramah yang ditunjukkan perempuan di tempat
kerja umumnya dipresepsikan oleh laki-laki sebagai minat terhadap seksual.
Laki-laki berpikir bahwsa secara umum perempuan ingin menunjukkan interet
seksualnya dengan bertingkah laku ramah di hadapan laki-laki. Mispersepsi ini
terjadi karena laki-laki memiliki imajinasi mengenai seks lebih banyak daripada
perempuan. Bahkan, menurut laki-laki tertentu, seks bisa terlihat dimana-mana.
Sebagaimana seks itu sendiri telah berada dalam fikirannya.
e.
Model Organisasi
Menurut model ini pelecehan seksual akan lebih mudah
terjadi jika kondisi yang ada dalam organisasi memungkinkannnya untuk terjadi.
Hal ini berhubungan dengan kebijakan organisasi misalnya mengenai jam kerja
malam bagi karyawan perempuan, atau tentang peraturan yang mengharuskan
pekerjaan perempuan berpakain sexy. Lingkungan kerja yang penuh dengan hal-hal
yang berkonotasi seksual juga berkorelasi dengan kejadian pelecehan seksual.
Lingkungan yang seperti ini akan melahirkan kebingungan dalam membedakan mana
yang termasuk pekerjaaan dan mana yang termasuk masalah pribadi.
Tingginya kejadian pelecehan seksual juga memiliki
korelasi dengan manajemen yang permisif dan organisasi yang toleren terhadap
kejadian pelecehan seksual. Organisasi yang toleren biasanya ditandai antara
lain : tidak memberi hukuman kepada pelaku, menolak menangani kasus-kasus
pelecehan seksual yang terjadi. Jika organisasi terlalu toleren terhadap
kejadian pelecehan seksual akan dipresepsikan sebagai tingkah laku yang
sehari-hari dapat diterima secara sosial. Jika pelaku berpendapat seperti ini,
maka pelecehan seksual akan berulang-ulang terus kejadiannya.
Penggolongan ingroup dan outgroup pada karyawan yang
biasanya terjadi di organisasi juga bisa sangat membahayakan terjadinya
pelecehan seksual. Menurut teori identitas sosial, orang-orang yang
dipresepsikan sebagai outgroup akan mendapat perlakuan kurang wajar, kurang
mendapatkan penghargaan, dipandang memiliki atribusi negatif, dan dianggap
sebagai orang lain yang berasal dar luar kelompoknya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pelecehan seksual lebih banyak terjadi pada perempuan yang
dikategorikan sebagai outgroup oleh laki-laki. Perempuan yang sering dimasukkan
kategori outgroup dalam organisasi antara lain : pekerja baru, pekerja magang,
pekerja part time, rekanan kerja dan mungkin tkw. Pekerja perempuan inilah yang
sering mendapat pelecehan seksual di tempat kerja.
Demikian juga sisitem hirearki yang dianut oleh
organisasi yang cenderung menjadikan laki-laki sebagai atasan yang memegang
power. Sebaliknya, perempuan secara hirarki berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan biasanya memegang
kedudukan yang tidak penting, atau berada pada posisi yang tidak menentukan
wujudnya misi-msisi organisasi. Pelecehan seksual yang terjadi menurut model
ini dipandang sebagai bntuk ekspresi lain mengenai rendahnya penilainan
organisasi terhadap perempuan di tempat kerja.
Jadi ada keterkaitan antara power dan gender. Dimana
dalam banyak hal laki-laki lebih memiliki power dari pda perempuan. Pelecehan
seksual yang terjadi karena laki-laki menggunakan powernya untuk mendapatkan
sesuatu. Pelecehan seksual terhadap pada para TKW atau pada para pembantu oleh
majikannya, sekertaris oleh bosnya dan sebagainya adalah bentuk dari penggunaan
yang salah dari power. Penggunaan power yang salah ini telah mempersempit ruang
gerak perempuan secara sosial untuk berpartisipasi secara penuh sebagai pekerja
di masyarakat.
f.
Model Empat Faktor
Model ini menggabungkan 4 aspek prakondisi yang
dianggap penting dalam menentukan terjadinya pelecehan seksual. Prakondisi
tersebut meliputi : motivasi pelaku, kemampuan pelaku untuk menggagalkan
rencana, tersedianya faktor eksternal yang menghambat rencana dan perlawanan
dari korban.
Prakondisis pertama. Berkaitan dengan latar belakang
yang mendasari perilaku melakukan pelecehan seksual. Faktor-faktor yang
memotivasi melakukan pelecehan seksual. Misalnya adanya kebutuhan berkuasa,
mengendalikan atau merasa tertarik kepada perempuan korbannya. Bisa juga
laki-laki berusaha menunjukkan penerimaannya terhadap pekerja-pekerja baru
dengan melakukan tindakan-tindakan atau kata-kata yang tidak terpuji terhadap
perempuan itu misalnya dengan melontarkan gurauan yang berkonotasi seks,
memberi komentar jorok dan menyentuh dan bentuk perilaku seksual lainnya.
Pra kondisi kedua adalah mengatasi hambatan-hambatan
yang berasal dari dalam diri sendiri hingga pelaku bisa melakukan pelecehan
seksual. Pra kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan
diri dan seberapa banyak pelaku yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang
moral, kemampuan empati terhadap korban, serta tentang hak dan martabat
perempuan yang harus dihormatinya.
Pra kondisi ketiga berhubungan dengan faktor-faktor
situsional atau eksternal yang bisa mempermudah atau bahkan menghambat
terjadinya pelecehan seksual. Pelecehan ini bisa dihambat melalui lingkungan
kerja yang profesional, pennegakkan peraturan yang menjunjung tinggi nilai
moral, komitmen pimpinan dan manajemen dalam menolak dan tidak memberi toleransi
pada tindakan seksual.
g.
Prakondisi keempat berhubungan dengan tingkah
laku, sikap, dan kebisasaan perempuan yang memungkinkan dan tidak memungkinkan
terjadinya pelecehan seksual. Prempuan harus memiliki kesadaran terhadap
kemungkinan terjadinya pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Perempuan juga
harus menjaga diri dengan bersikap da berpakaian yang profesional dan
berhati-hati dalam setiap kesempatan. Dengan cara ini perempuan dapat
mengurangi resiko sebagai korban pelecehan seksual.
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1.
Studi Kasus 1
Pelecahan
seksual pada perusahaan PT UEDE Indonesia
Rabu, 15 juni
2016 pada koran online Tribun Jateng
Suami korban pelecehan
seksual oleh rekan
kerja dan
atasan di sebuah pabrik mebel di Kawasan Industri Terboyo, Kota Semarang, S,
mengaku telah bertemu dengan pihak PT UEDE Indonesia tempat dimana istrinya dan
keenam pelaku bekerja. S mengatakan, dari pertemuan tersebut pihak perusahaan
mengatakan keenam pelaku telah dikeluarkan dari perusahaan. "Saya sudah
bertemu dengan pihak perusahaan, perusahaan berkomitmen membantu istri saya
yang menjadi korban pelecehan seksual oleh enam orang rekan
kerja dan
atasannya," kata S kepada Tribun Jateng, Rabu (15/6/2016). Selain itu,
lanjut S, pelaku juga ada yang sudah meminta maaf padanya melalui pesan
singkat. "Ada pelaku yang sudah sms saya dan meminta maaf, tapi yang lain
belum," katanya. Sementara itu, HRD PT UEDE Indonesia yang berada di Jalan
Industri Terboyo Timur menolak memberikan komentar. "No komen," cetus
perwakilan HRD bernama Sasa tersebut.
Kapolsek
Genuk, Kompol M Ridwan, mengatakan pihaknya akan melakukan pemeriksaan terhadap korban dan
saksi terkait pelecehan
seksual yang
dialami oleh J, pekerja bagian packing PT UEDE Indonesia. J melaporkan enam
orang yang dua di antaranya adalah atasannya di perusahaan mebel tersebut
lantaran telah mengalami pelecehan seksual sejak
dua tahun lalu. "Besok (Kamis 16/6/2016) akan kami mintai keterangan korban
dan saksinya, sementara ini masih sebatas pengaduan saja," kata Ridwan
kepada Tribun Jateng, Rabu (15/6/2016). Menurut Ridwan, untuk kasus pelecehan
seksual yang
dialami oleh J ini pihaknya akan melakukan gelar perkara bersama dengan Unit
PPA Sat Reskrim Polrestabes Semarang. "Nanti kami akan gelar perkara
bersama dengan PPA Polrestabes Semarang, agar jelas semuanya," katanya.
Sebelumnya, seorang wanita buruh pabrik mebel di Kawasan Industri Terboyo, Kota
Semarang, menjadi korban pelecehan
seksual oleh
enam orang pria yang tak lain adalah atasan serta rekan kerjanya.
Korban bernama
J (33) warga Kecamatan Buntur, Kabupaten Demak dipaksa (maaf) onani oleh keenam
terlapor. Keenam terlapor tersebut berinisial W, AM, AS, AM, AM dan IS. Keenam
pelaku bergantian melecehkan korban mulai
dari tahun 2014 hingga tahun 2016. Bahkan korban pun
sudah tak tahu berapa kali para pelaku melecehkannya. "Kalau M empat kali,
yang lain itu sudah tidak tahu berapa kali," kata J kepada Tribun Jateng,
Selasa (14/6/2016). J mengatakan, dia takut melaporkan kejadian tersebut
lantaran diancam akan dipindahkan ke bagian kerja yang lebih berat. "Jika
tidak mau dipindah bagian ke kerja yang berat, bahkan kalau melapor akan
dipecat," kata J. Menurut J, perlakuan tidak senonoh itu mulai didapat
sejak dia dipindah ke bagian paking. Di bagian paking, hanya J sendiri
perempuan, sisanya laki laki. "Awalnya cuma
colek colek bagian pantat, lalu ada yang peluk dari belakang. Hingga dipaksa
melakukan itu," katanya.
Enam pelaku
kejahatan seksual terhadap J, buruh pabrik mebel PT UEDE Indonesia telah
mengakui perbuatan tersebut. Keenam pelaku itu mengakui perbuatannya saat
pemeriksaan di Polsek Genuk, Kamis (16/6/2016). Hal itu dikatakan oleh suami
korban, S. S mengatakan, saat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Unit Reskrim Polsek
Genuk dan
Unit PPA Sat Reskrim Polrestabes Semarang, keenam pelaku mengakui perbuatannya.
Saat diperiksa itu, para pelaku membawa anak dan istrinya. Bahkan beberapa ada
istri dari pelaku yang dalam kondisi hamil tua. "Ada yang hamil istrinya,
ada yang anaknya masih menyusu, ada yang anaknya masih kecil. Semua pelaku bawa
anak istrinya waktu diperiksa," kata S kepada Tribun Jateng.
S
mengatakan, saat diperiksa itu, para pelaku beserta istri masing masing memohon
agar J mencabut laporannya. Bahkan menurut S, pelaku dan istrinya menangis
memohon agar J mengurungkan niatnya melanjutkan kasus ini. "Mereka
menangis, istrinya memohon mohon sampai nangis agar istri saya mencabut
laporannya," katanya. S mengatakan, dia dan istrinya tidak tega melihat
istri dan anak pelaku. Terlebih para pelaku telah dipecat dari pekerjaannya di
PT UEDE Indonesia. "Saya sama istri kasihan sama anak istri pelaku, para
pelaku sudah dipecat. Istri pelaku bilang kalau suaminya dipenjara yang
menghidupi mereka nanti siapa. Saya jadi bimbang antara rasa kemanusiaan dan
hukuman untuk para pelaku," kata S. Terkait pencabutan laporan itu, S
mengatakan akan merembukkan dulu dengan keluarganya. "Rasa kemanusiaan saya tersentuh, saya rembukkan dulu sama
keluarga," katanya. (Tribun
Jateng/Radlis)
Sumber studi kasus : [koran online Tribunnews]
3.2.
Analisis Studi Kasus 1
a.
Jenis pelecehan seksual yang terjadi pada kasus J di PT UEDE
merupakan jenis quid pro quo dimana pada pelecehan seksual tersebut pelaku
menerapkan prinsip tranding, ini ditukar itu pekerjaan ditukar sex. Jika korban
menyetujui (karena terpaksa) untuk memenuhi transaksi itu maka korban tidak
akan dipindahkan tetapi jika korban menolak melakukkanny atau melaporkannya
maka korban akan dipindahkan ke bagian pekerjaan yang lebih berat hingga
ancaman dipecat apabila melaporkan perbuatan pelaku. Tujuan dari pelaku
sangalah jelas pelaku ingin menakut-nakuti atau mengancam korban sesuai dengan
toeri yang ada motivasi dari pelaku yang melakukan pelecehan seksual jenis quid
pro quo sebagai persyaratan untuk memeperoleh sesuatu agara tidak kehilangan
sesuatu.
b.
Efek yang dialami korban
J setelah mendapat pelecehan seksual, korban J menjadi takut untuk
melaporkan tindakan senonoh dari rekan kerjanya yang berjumlah 6 orang
tersebut. pelecehan seksual tersebut berawal dari tindakan beruapa colekan
bagian pantat, pelukan dari belakang. Karena rasa takut dan tertekan akibat
ancaman yang didapatkan korban J. Para pelaku semakin bertambah berani
melakukan pelecehan seksual yang berupa hubungan seks yang dilakukan secara
bergantian oleh pelaku terhadap korban J.
c.
Teori penyebab terjadinya pelecehan seksual pada kasus ini
yaitu menggunakan teori model empat faktor dimana teori ini menjelaskan tentang
4 faktor prokondisi yang dianggap penting dalam menentukan terjadinya pelecehan
seksual.
1)
Prakondisi pertama yaitu berkaitan dengan latar belakang yang
mendasari pelaku melakukan pelecehan seksual. Pada kasus dijelaskan bahwa
korban J mendapat pelecehan seksual mulai saat dia dipindahkan ke bagian
packing tersebut. pada bagian ini dominan pekerja yaitu laki – laki. Pelaku
yang mekalukan pelecahan seksual merupakan pegawai lama yang ada dibagian
packing. Oleh sebab itu terdapat keseuaian antara teori dengan kasus yaitu
motivasi pelaku melakukannya karenaada kebutuhan untuk berkuasa, menunjukkan
adanya penerimaan terhadap pekerja baru.
2)
Prakondisi kedua yaitu mengatasi hambatan yang berasal dari
diri pelaku sehingga dapat mencegah tindakan untuk tidakmenurut motivasinya.
Disini pada studi kasus pelaku semakin tambah berani melakukan pelecehan
seksual disebabkan banyaknya pelaku atau rekan pelaku lainnya yang melakukan
pelecehan seksual pada korban. Korban muali dilecehkan seja 2014 hingga 2016
yang dilecehkan secara bergantian oleh 6
pelaku.
3)
Prakondisi ketiga yaitu barhubungan denga situasional atau
eksternal yang bisa mempermudah atau bahkan menghambat terjadinya pelecahan
seksual. Pelecehan seksual yang terjadi pada kasus dijelaskan bahwa korban J
mengalami pelecehan seksual saat shift kerja dimana semua perkerjanya laki-laki
dan hanya dia saja yang perempuan. Oleh sebab itu dengan situasi yang
seperti itulah memudahkan pelaku untuk
melakukan pelecahan seksual pad korban J.
4)
Prakondisi keempat yaitu berhubungan dengan tingkah laku
sikap, dan kebiasaan perempuan yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual.
Pada studi kasus tidak ditemukan tingkah laku korban yang sifatnya menggoda
para pelaku atau semacamnya. Namun korban J hanya merasa ketakutan saat
menerima perbuatan tersebut sehingga dia tidak berani melaporkan bahwa dirinya
telah dilecehkan secara seksual selama dua tahu oleh 6 rekan kerjanya.
d.
Upaya yang dapat digunakan untuk mereduksi pelecehan seksual
ditemapat kerja
1)
Perlu adanya training atau penyuluhan mengenai keterampilan
berempati secara singkatnya perlu memperkuat kemampuan mengatasi keinginan –
keinginan yang tidak rasional atau pelecehan seksual.
2)
Menyediakan prosedur dan peraturan yang tegas mengenai
pelecehan seksual, sangsi bagi pelaku, dan menciptakan lingkungan kerja yang
profesional, memperkuat lingkungan kerja.
Hal-hal yang dapat dilakukan
korban ketika akan mendapat pelecehan seksual korban dapat menghindari
temapat-tempat tertentu, belajar bersikap asertif, harus menjaga atmosfir pada
tempat kerja yang profesional dengan berpenampilan profesional juga.
3.3.
Studi Kasus 2
30 Jam Tak Tidur,
Mita Diran si Gadis Copywriter Meninggal
Dunia
16 Desember
2013
Berita
kematian seorang gadis muda berprofesi sebagai copywriter di agency, Y&R (Young & Rubicam) Asia
karena 30 jam tidak tidur menggemparkan ranah Twitter Minggu sore
(15/12/2013).
Gadis muda
bernama Mita Diran tersebut bekerja tak kenal waktu selama tiga hari tanpa
tidur. Hal itu diketahui dari twitter terakhir yang ditulisnya pada pukul 05:47
PM Sabtu 14 Desember 2013.
Twitter
terakhir Mita Diran tersebut berbunyi: "30 hours of working and still
going strooong," tulis Mita melalui akun Twitternya, @mitdoq.
Sehari setelah menulis di Twitter tersebut, teman-teman di twitternya
dikagetkan dengan kabar meninggalnya Mita Diran pada Minggu 15 Desember 2013. Sebelum ramai di Twitter, kabar duka ini muncul untuk pertama kalinya di
jejaring sosial Path, di mana sang ayah, Yani Syahrial mengabarkan bahwa sang
anak tumbang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). "Hi everyone, since last night and until now my
daughter who is a copywriter in Y&R in coma in RSPP. Chances not very good.
She collapsed after continuous working overtime for 3 days last night. Working
over the limit. I have not slept since then," tulis Yani di
Path-nya.
Di Twitter,
disebutkan juga oleh teman-temannya bahwa selama bekerja ekstra itu gadis
cantik berambut pendek ini sempat mengonsumsi minuman berenergi yang memiliki
kafein tinggi.
Setelah
pulang kantor usai bekerja 30 jam, Mita akhirnya pulang ke rumah sebentar dan
pergi lagi karena sudah berjanji dengan temannya. Saat bertemu dengan
temannya yang datang dari Kuala Lumpur, di sebuah restoran pizza yang terletak
di kawasan Gunawarman Jakarta, Mita mengalami collaps. Saat collaps,
teman-temannya membawa Mita ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Namun Mita
terus mengalami koma sejak itu.
Kabar
meninggalnya Mita Diran dibenarkan oleh pihak Y&R Group Indonesia, tempat
ia bekerja. Bahkan, demi menghormati Mita yang dikenal sebagai karyawati murah
senyum dan ceria, pihak Y&R Group Indonesia meliburkan satu hari seluruh
karyawannya, hanya untuk mengantarkan jenazah gadis cantik itu ke
peristirahatan terakhir, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut pada Senin
16 Desember 2013 pukul 10:00 WIB."Tomorrow, December 16, we will close the
office for the day to pay our last respects to Mita at her funeral at Jeruk
Purut cemetery at 10 AM," tulis
akun @yrindonesia
Sumber : http://health.liputan6.com/read/775867/30-jam-tak-tidur-mita-diran-si-gadis-copywriter-meninggal-dunia?wp.hdln=
3.4.
Analisis Studi Kasus 2
Berdasarkan
studi kasus Kematian dari Mita Diran, aspek psikososial yang berpengaruh adalah
Peran Shift Kerja
a.
Tidak adanya pembagian shift
kerja.
Pada kasus di atas diketahui bahwa Mita
Diran tidak melakukan shift kerja yang sesuai. Sistem kerja shift yang berlaku
umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing – masing selama 8 jam, termasuk
istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore, dan malam. Namun, ia malah
bekerja selama 30 jam nonstop tanpa istirahat.
b.
Pengaruh fisik maupun psikis yang disebabkan oleh kesalahan
shift kerja antara lain :
a)
Kurangnya waktu untuk istirahat dan tidur
Hal ini dapat menurunkan daya tahan dan
kekebalan tubuh. Tak hanya itu, kurang tidur dan istirahat juga memicu produksi
hormon cortisol atau hormon stres yang juga memicu kinerja jantung yang lebih
cepat.
b)
Munculnya penyakit
Penelitian yang dilakukan oleh
University College pada tahun 2012 mengungkap bahwa stress yang berlebihan bisa
mengeraskan pembuluh darah arteri. Nantinya hal ini juga bisa menyebabkan
serangan jantung. Hal tersebut terjadi terutama ketika seseorang terlalu
memforsir tubuhnya untuk bekerja dan kurang istirahat. Tak hanya itu,
mengonsumsi minuman berenergi juga bisa menambahkan stress pada organ tubuh.
Ketika tubuh sedang lelah dan seseorang minum minuman berenergi, organ tubuh
akan dipaksa untuk bekerja lebih keras meski tengah kelelahan.
c)
Munculnya gangguan tidur
Sesuai denga isi berita yang menyatakan
bahwa “Setelah pulang kantor usai bekerja 30
jam, Mita akhirnya pulang ke rumah sebentar dan pergi lagi karena sudah
berjanji dengan temannya” Hal ini memungkinkan bahwa tidak adanya rasa kantuk
akibat dari efek bekerja non stop tersebut sehingga kemungkinan untuk gejalan
akibat kurangnya tidur dapat muncul.
d)
Keselamatan Kerja
Kasus Mita Diran pada
aspek ini bepengaruh pada ketidaktepatan rotasi shift kerjanya yang berperan
penting dalam keselamatan dalam bekerja. Akibatnya Mita Dirga mengalami
collaps, kemudian koma sejenak dan akhirnya meninggal dunia
c. Upaya yang dapat dilakukan dalam
menghindari hal yang tidak diinginkan seperti kasus Mita Diran ini
1)
Pengaturan jam kerja dalam sistem shift diatur dalam
Undang-Undang no.13/2003 mengenai Ketenagakerjaan yaitu diatur dalam
pasal-pasal sebagai berikut:
§ Jika jam kerja di lingkungan suatu
perusahaan atau badan hukum lainnya (selanjutnya disebut “perusahaan”)
ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 jam
per-hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat 2 huruf a
Undang-Undang No.13/2003)
§ Jumlah jam kerja secara akumulatif
masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 jam per minggu (Pasal 77 ayat 2
Undang-Undang No.13/2003).
§ Setiap pekerja yang bekerja melebihi
ketentuan waktu kerja 8 jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja
akumulatif 40 jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat
perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan
sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat 2 Undang-Undang No.13/2003).
2)
Setiap perusahaan perlu memperhatikan tingkat stres para
pegawainya. Ini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti kasus Mita
Diran, copywriter Young & Rubicam yang meninggal dunia
setelah bekerja 30 jam tanpa henti. Hal ini juga beperngaruh pada penetapan dan
pengaturan jadwal shift kerja
§ Sisi organisasi. Hal-hal seperti
struktur organisasi yang tidak jelas, deskripsi pekerjaan yang tidak menentu,
dan tenggat waktu dapat memicu stres bagi pekerja.
§ Hubungan antarmanusia di lingkungan
kerja. Komunikasi yang baik antarpekerja akan meminimalisir dampak dampak yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai aktivitas kerja seperti kelelahan, stress yang
berakibat pada kecelakaan kerja
3.5.
Studi
Kasus 3
Ratusan
Buruh Demo Pabrik Kayu di Lumajang
TEMPO.CO, Lumajang - Ratusan buruh pabrik kayu PT PSI
melakukan aksi demonstrasi, Selasa, 26 April 2016, di Desa Kunir Kidul,
Kecamatan Kunir, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Buruh pabrik milik investor
asal Cina yang baru satu tahun berdiri ini menuntut upah sesuai dengan upah
minimum kabupaten (UMK) yang telah ditetapkan pemerintah Kabupaten Lumajang.
Dalam aksi tersebut, buruh
pabrik kayu yang memproduksi barecore untuk diekspor ke Cina itu diberi kesempatan
untuk melakukan mediasi dengan direksi serta pimpinan perusahaan. Tidak kurang
dari sepuluh perwakilan buruh pabrik ini kemudian menyampaikan aspirasi serta
berdialog dengan pemilik perusahaan yang merupakan warga negara Cina itu.
Salah satu perwakilan buruh,
Sisworo, mengatakan buruh sebenarnya tidak meminta yang berlebihan terhadap
perusahaan. "Tuntutan buruh sesuai aturan saja, seperti hak-hak
pekerja," kata Sisworo dalam pertemuan yang juga dihadiri pihak
kepolisian, kecamatan, serta dinas ketenagakerjaan. Beberapa tuntutan itu
antara lain upah sesuai dengan UMK, jam kerja harus tujuh jam kerja per hari
atau 40 jam per minggu sehingga di luar tujuh jam kerja per hari berarti
lembur, jaminan keselamatan dan kesehatan, tunjangan hari raya, serta status
karyawan tetap. "PT PSI harus melaksanakan aturan sesuai dengan
undang-undang. Kerusakan alat operasi ditanggung perusahaan," kata
Sisworo. Beberapa buruh lainnya juga menyampaikan aspirasinya bahwa perusahaan
telah bertindak tidak manusiawi dengan memberi beban kerja di atas kemampuan
buruh. Buruh lain mengatakan tidak ada kejelasan dalam pengupahan antara sistem
borongan dan harian. Salah satu buruh sempat mengaku pada awalnya mereka diupah
harian, tapi perusahaan menilai pekerjaan buruh tidak memenuhi target sehingga
kemudian diubah menjadi sistem borongan. Namun, ketika borongan, kualitas barecore yang dihasilkan buruh
ternyata malah buruk. Pekerja menganggap dengan upah borongan, mereka seperti
dikejar-kejar waktu untuk segera selesai pengerjaannya.
Dalam sistem borongan itu,
pekerja diberi target 350 lembar dikali Rp 4 ribu per lembar dan dibagi 28
orang untuk setiap line.
Sehingga setiap pekerja mendapat Rp 50 ribu per hari. Namun ternyata, menurut
perusahaan, kualitas produksi menurun. Sehingga kemudian sistem pembayaran
diubah lagi dengan sistem per jam. "Buruh yang bekerja di atas tiga bulan
dibayar Rp 6 ribu per jam, sedangkan yang di bawah tiga bulan dibayar Rp 4 ribu
per jam," katanya.
Pada prakteknya, kemudian, para
pekerja mengeluh ada yang setiap hari hanya mendapat Rp 22 ribu. Inilah
kemudian yang membuat pekerja berunjuk rasa. Zhang Zelong, pemilik PT PSI, yang
ikut menemui perwakilan buruh, melalui penerjemahnya mengatakan kalau perusahaan
sudah memperhitungkan meskipun borongan, tetap sesuai dengan UMK. "Ada
yang memperoleh Rp 70 ribu sampai Rp 80 ribu per hari," kata Zhang.
Namun belakangan ada masalah
dengan produk yang dihasilkan pekerja hingga kemudian mempengaruhi pendapatan pekerja.
Zhang bahkan menunjukkan beberapa foto barang yang dikeluhkan konsumennya dari
Cina. Bahkan Zhang mengatakan ada tujuh kontainer barecore yang harus dibongkar lagi karena di dalamnya
ada barang yang tidak layak untuk dikirim.
Berdasarkan pantauan Tempo, sempat terjadi perdebatan
dalam mediasi tersebut. Bidang Pengawasan Disnakertrans Lumajang bahkan sempat
menyatakan perusahaan bisa dipidana jika melanggar peraturan. Mediasi tersebut
pada akhirnya menghasilkan sejumlah kesepakatan. Zhang bersedia memenuhi
permintaan buruh ihwal UMK serta persoalan jam kerja dan hitungan lembur.
Sedangkan untuk jaminan sosial tenaga kerjanya, masih akan dibahas oleh
manajemen. Zhang kemudian meminta pekerja untuk berkomitmen bekerja dengan
sungguh-sungguh dan menghasilkan produk yang berkualitas. Ricky Ardiansyah,
Kepala Pabrik, mengatakan pabrik ini mulai produksi sejak pertengahan April
2015. Nilai investasi PT PSI lebih dari Rp 200 miliar. "Satu line saya Rp 20 miliar, di sini ada
sembilan line,"
katanya. Belum bangunannya atau lain-lainnya. Jumlah pekerja pabrik sekitar 600
orang. Produk yang dihasilkan pabrik ini berupa barecore yang diekspor ke Cina.
3.6.
Analisis Studi Kasus 3
Berdasarkan
studi kasus diatas aksi demostrasi yang dilakukan oleh buruh pabrik kayu PT PSI
terjadi pada hari Selasa, 26 April 2016, di Desa Kunir Kidul, Kecamatan Kunir,
Kabupaten Lumajang. Para buruh melakukan aksi demostrasi karena meraka menuntut
pimpinan perusahaan agar mereka bekerja sesuai dengan undang-undang. Tuntutan
yang mereka ajukan yaitu upah sesuai dengan UMK, jam kerja harus tujuh jam
kerja per hari atau 40 jam per minggu sehingga di luar tujuh jam kerja per hari
berarti lembur, jaminan keselamatan dan kesehatan, tunjangan hari raya, serta
status karyawan tetap. Sehingga bedasarkan analisis, kasus tersebut termasuk
dalam tuntutan keja fisik dan tuntutan kerja mental.
1.
Tuntutan kerja fisik :
Tuntutan kerja fisik berdasarkan kasus diatas yaitu dengan adanya
perubahan sistem dari harian menjadi borongan yang dialami oleh pekerja.
Perubahan sistem ini dilakukan karena perusahaan menilai pekerjaan buruh tidak
memenuhi target ketika diberlakukan sistem harian, sehingga diubah menjadi
sistem borongan. Hal ini mengakibatkan pekerja menjadi kelelahan. Karena
pekerja merasa dikerja-kejar waktuk untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.
Sehingga produk yang dihasilkan menjadi buruk dan merugikan perusahaan itu
sendiri.
2.
Tuntutan metal
Ketidak
jelasan upah buruh yang diterima akan menjadi beban mental para buruh tersebut.
Para buruh akan bertanya-tanya kepada perusahaan mengenai sistem pembayaran
buruh. Sehingga mereka terus memikirkan hal tersebut dan dapat mempengaruhi kualitas saat
bekerja.
BAB 4 PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Secara umum,
tuntutan kerja dibagi dalam 2 kategori, yaitu tuntutan kerja seca fisik
(physical job demands) dan tuntutan kerja mental (Mental Job Demands).
Symtom
adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri
pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja.
Symtom ini bisa dibagi dalam 2 kategori yaitu symptom fisik (Physical Symptom)
dan symptom mental (Mental Symptom).
Menurut
Bridger (1995) kebisingan adalah salah satu pencemaran yang berasal dari
penerapan teknologi. Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada tingkat
55-60 dB.
Shift kerja
berarti hadir pada suatu tempat yang sama (yang disebut shift kerja kontinyu)
atau dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi). Perencanaan shift
yang banyak digunakan adalah sistem 2-2-2 yang dinamakan metropolitan rota dan
sistem 2-2-3 yang dinamakan continental rota.
Pelecehan
seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh yang
berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang
berorientasi seksual yang membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung
dan/atau terintimidasi. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual
yaitu pelecehan fisik pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis,
dan pelecehan psikologis/emosional.
4.2. Saran
Adapun saran
yang dapat penulis berikan terkait dengan pelecehan seksual di tempat kerja bahwasanya dalam
meminimalisir kasus pelecehan seksual ditempat kerja agar tercipta tempat kerja yang aman dan
terbebas dari kasus pelecehan seksual, perlu
adanya penyebarluasan kebijakan dan mekanisme pencegahan pelecehan kepada
seluruh karyawan dan para penyelia sama pentingnya. Selainitu, guna memenuhi
seluruh kebutuhan akan komunikasi, para pengusaha harus menyelenggarakan
program di mana karyawan dan penyelia dapat mendapatkan pendidikan tentang
pelecehan. Sehingga pada akhirnya, seluruh pihak harus memiliki kesadaran yang
tinggi tentang berbagi cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif
yang bebas dari pelecehan.
DAFTAR PUSTAKA
http://betterwork.org/indonesia/wp-content/uploads/Guidelines-on-the-Prevention-of-Workplace-Harassment_IND-3.pdf
(diakses 24 Juli 2016)
http://betterwork.org/indonesia/wp-content/uploads/Guidelines-on-the-Prevention-of-Workplace-Harassment_IND-3.pdf
(diakses 24 Juli 2016)
http://jateng.tribunnews.com/2016/06/15/polisi-segera-periksa-j-yang-dua-tahun-ini-jadi-korban-pelecehan-seksual-di-tempat-kerja (diakses
18 Juli 2016)
http://jateng.tribunnews.com/2016/06/15/suami-korban-sebut-ada-pelaku-pelecehan-yang-minta-maaf-padanya (diakses
18 Juli 2016)
http://solo.tribunnews.com/2016/06/16/tangisan-istri-enam-pelaku-kekerasan-seksual-bikin-suami-korban-pertimbangkan-cabut-laporan?page=3 (diakses 18 Juli 2016)
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_171328.pdf
(diakses 24 Juli 2016)
Winarsunu, Tulus.
2008. Psikologi Keselamatan Kerja, Cetakan pertama. Malang: UMM Press.