Kamis, 04 Agustus 2016

Aspek Psikososial Dalam Keselamatan Kerja

            

MAKALAH

ASPEK PSIKOSOSIAL DALAM KESELAMATAN KERJA
(disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Industri Kelas B)



Disusun oleh :

Dwi Aulia                     142110101001
Nur Lailyah                  142110101011
Driya Paramarta           142110101021
Indah Ernawati             142110101032
Denti Tarwiyanti          142110101045
Alifaida Aulia              142110101055
Rias Ekasari                 142110101065
Isminingsih                  142110101075
Kevanda Kania E         142110101085
Mas Amaliyah              142110101096
Retno Ernita S              142110101106
Dewi Purnamasari        142110101205




FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2016





KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah   yang berjudul ”Aspek-aspek Psikososial dalam Keselamatan Kerja ”. Makalah  ini membahas tentang aspek-aspek psikososial yang mempengaruhi dalam keselamatan kerja pekerja. Serta makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah psikologi industri yang sedang di temouh mahasiswa.   Penulisan makalah  ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Ibu dr.Ragil Ismi Hartanti, M.Sc. selaku dosen PJMK Psikologi Industri
2.    Ibu  Anita Dewi Prahastuti Sujoso, S.KM,M.SC selaku dosen pengampu mata kuliah  Psikologi Industri
3.   Ibu Reni Indrayani, S.KM., M.KKK. selaku dosen pengampu mata kuliah  Psikologi Industri
4.      Bapak Kurnia Akbar Ardiansyah, S.KM., M.KKK. selaku dosen pengampu mata kuliah  Psikologi Industri
5.      Orang tua kami, atas segala restu dan dukungannya dalam bentuk apapun
6.      Teman-teman kelompok 1  yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bentuk kerjasamanya
Penulis menyadari makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berbagai sumbang saran yang bertujuan untuk penyempurnaan makalah  dengan ikhlas penulis terima sebagai umpan balik untuk bahan evaluasi. Semoga makalah  ini dapat memberikan sumbang pikir yang positif dan bermanfaat.




Jember, 26 Juli  2016



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
1.2.      Rumusan Masalah
1.3.      Tujuan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Tuntutan Kerja (Jobs Demands)
2.2.      Symptom
2.3.      Kebisingan
2.4.      Shift Kerja
2.5.      Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1.      Studi Kasus 1
3.2.      Analisis Studi Kasus 1
3.3.      Studi Kasus 2
3.4.      Analisis Studi Kasus 2
3.5.      Studi Kasus 3
3.6.      Analisis Studi Kasus 3
BAB 4 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA


BAB 1 PENDAHULUAN


1.1.       Latar Belakang

Keefektivan kerja seseorang tidak hanya hasil dari peralatan kerja dan lingkungan banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan terhambat dan terganggunya kinerja seorang pekerja yang dapat berdampak pada keefektifan pekerja . Keefektivan dalam bekerja merupakan hasil dari bagaimana pengaturan tugas dan waktu kerja yang di terapkan pada pekerja. Dan bagaimana sebuah perusahaan atau tempat kerja melakukan kontrol setelah pekerjaan di laksanakan. Pengaturan tugas dan waktu serta kontrol di tempat kerja merupakan aspek yang sangat penting yang berpengaruh pada aspek psikososial dalam bekerja dan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pekerja dan keselamatan pekerja dalam bekerja
Aspek psikososial merupakan salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi kineja pekerja dalam bekerja dan berdampak pada keselamatan pekerja. Aspek- aspek psikosial dapat terganggu apabila tidak adanya kontrol akan pembagian waktu dalam suatu pekerjaan dapat mempengaruhi aspek-aspek psikologi pekerja. Beban kerja yang berlebih dan tidak terkontrol nya pembagian waktu , tidak adanya kontrol di tempat kerja dapat melahirkan kondisi kritis kondisi yang kritis mengakibatkan pekerja sangat dangkal, repetitif, kontrol yang kaku. Dan menimbulkan pekerja bosan, overload karena banyak nya tuntutan pekerjaan yang harus dipenuhi, lelah yang dapat menyebabkan pekerja kehilangan konsentrasi dalam bekerja sehingga menyababkan pekerja cenderung melakukan kesalahan dalam bekerja yang dilakukan dalam waktu yang lama tanpa adanya istirahat. Bekerja secara terus menerus tanpa adanya istirahat dan pengaturan waktu serta  kontrol  dalam bekerja inilah yang seringkali menjadi penyebab munculnya beban kerja atau work load baik fisik atau mental yang dapat mempengaruhi peforma pekerja dalam bekerja dan menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja
Aspek- aspek psikologis yang harus di perhatikan dalam pekerja meliputi tuntutan dan beban kerja fisik pekerja, tuntutan pekerjaan yaang mempengaruhi mental pekerja, seperti pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dan berfikir keras yang dapat berdampak akan mental pekerja, aspek lingkungan kerja  yang dapat mengganggu pekerja seperti kebisigan, pencahayaan dan desain tempat kerja, peralatan pekerja, aspek pengaturan waktu dalam bekerja yaitu lama jam kerja dan waktu istirahat, serta aspek perlindungan utuk pekerja baik perlindungan fisik akan bahaya kerja, maupun perlindungan seksual yang merupakan aspek psikologi dalam bekerja yang penting dalam mempengaruhi performa pekerja dan angka terjadinya kecelakaan akibat kerja
Pengaturan dan kontrol yang tepat terhadap aspek-aspek psikososial dalam bekerja dapat membuat pekerja merasa aman dalam bekerja, bekerja dengan menyenangkan dan menggunakan seluruh tenaga nya sehingga dapat menghasilkan performa yang unggu dalam bekerja sehingga dapat menimbulkan kebuasaan dan kebahagiaan pada pekerja dalam menjalankan pekerjaannya. Kondisi fisik dan mental yang baik akan menciptakan performa yang baik dalam bekerja  serta meminimalisisr terjadinya kesalahan dalam bekerja yang menjadi penyebab terjanya kecelakaan akibat kerja.

1.2.       Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian aspek psikososial dalam keselamatan kerja
2.    Apa saja aspek-aspek psikososial dalam keselamatan pekerja?
3.    Bagaimana aspek-aspek psikososial dalam mempengaruhi keselamatan kerja ?
4.    Mengapa aspek psikososial mempengaruhi keselamatan pekerja ?

1.3.       Tujuan

1.    Untuk mengetahui pengertian aspek-aspek psikososial dalam keselamatan kerja
2.    Untuk mengatahui aspek apa saja yang mempengaruhi dalam  keselamatan kerja
3.    Untuk mengetajui bagaiamana aspek-aspek psikososial mempengaruhi keselamatan pekerja
4.    Untuk mengetahui mengapa aspek psikososial mempengaruhi keselamatan pekerja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1.       Tuntutan Kerja (Jobs Demands)

Dalam pelaksanaan kerja sehari-hari pada kenyataannya banyak karyawan yang overloaded, karna banyak tuntutan kerja, sehingga menjadi lelah dan mempunyai kecenderungan untuk melakukan kesalahan pada pekerja yang di lakukannya pada waktu yang lama tanpa istirahat. Hal inilah yang sering kali menjadi penyebab munculnya beban kerja atau work load baik fisik maupun mental yang pada gilirannya akan mempengaruhi performansi kerja. Oleh karena itu untuk membuat kerja agar menjadi lebih baik di perlukan suatu upaya yang mengarah kepada suatu prinsip, yaitu memberikan otonomi yang memadai kepada karyawan untuk bertanggung jawab dan menggunakan kemampuannya.
Hal ini bisa dikembangkan kedalam prinsip-prinsip yang lebih khusus yang meliputi:
1.    Tuntutan kerja harus rasional secara mental dan bervariasi
2.    Kerja harus memungkinkan karyawan untuk terus belajar secara kontinyu
3.    Karyawan harus memiliki wilayah minimal dalam pegambilan keputusan
4.    Upaya dan capaian-capaian karyawan harus terlihat di tempat kerja
5.    Kerja harus berhubungan dengan kehidupan lain seperti arti kerja dalam kehidupannya
6.    Kerja harus memungkinkan untuk timbulnya suatu perasaan tentang masa depan (Galer, 1987)
Secara umum tuntutan kerja di bagi dalam 2 kategori, yaitu tututan kerja fisik (physical job demand) dan tuntutan kerja mental (mental job demands).
1.        Tuntutan Kerja Fisik (Physical Job Demands)
Tuntutan kerja fisik suatu kondisi yang secara langsung berasal dari beban kerja fisik (physical work load) dan mempengaruhi tubuh atau membutuhkan tubuh untuk menggunakan posture tertentu selama waktu tertentu
Tuntutan kerja fisik dapat meliputi gerakan-gerakan fisik sebagai berikut: membungkuk atau memutar, mengangkat benda berat, membungkuk ke depan tanpa penopang tangan atau lengan, memutar, posisi tanganyang tingginya melebihi bahu, gerakan-gerakan yang tidak nyaman, postur tubuh yang tidak nyaman, bekerja keras, jumlah tugas, dan banyaknya tenaga yang di butuhkan.
2.        Tuntutan Kerja Mental (Mental Job Demands)
Tuntutan kerja mental adalah suatu kondisi yang secara langsung berhubungan dengan proses-proses mental apa saja yang terlibat dan di butuhkan dalam bekerja. Hal ini bisa meliputi keadaan-keadaan seperti: selalu memikirkan pekerjaan, mengerjakan beberapa hal dalam waktu yang bersamaan, perhatian terhadap pekerjaan yang hati-hati, kesulitan-kesulitan mengerjakan tugas yang di hadapi oleh karyawan baik yang harus di bantu ataupun yang tidak perlu di bantu oleh orang lain (Waluyo, 1984)

2.2.            Symptom

Symptom adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja. Perasaan tertekan seperti nervous, tertekan dan kesulitan tidur, di hubungkan dengan keluhan-keluhan pada punggung. Symptom yang berhubungan dengan kerja bisa merupakan manifestasi dari stress pada tubuh maupun pikiran pekerja. Simptom ini bisa di bagi dalam 2 kategori, yaitu simptom fisik (physical symptom) dan simtom mental (mental symptom).
1.             Gejala Fisik (Physical Symptom)
Gejala fisik berhubungan dengan keadaan sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu yang antara lain meliputi: leher, bahu,, siku, tangan, punggung atas, punggung bawah, pinggul, lutut, kaki atau pergelangan kaki (Waluyo, 1984)
2.             Gejala Mental ( Mentally Symptom)
Gejala mental berhubungan dengan suatu keadaan keluhan yang terasa dalam psikis seseorang, misalnya merasa lelah atau tidak ada gairah, sangat lelah setelah bekerja, tertekan oleh persyaratan dan waktu kerja, merasa tertekan, merasa marah, tak bersemangat, tertekan atau selalu memikirkan pekerjaan, sulit tidur, merasa jengkel, tidak bahagia, merasa tidak bisa istirahat, gangguan pada perut, sakit kepala, detak jantung tidak teratur, tidak bersemangat setelah mendapat kesulitan, dan tidak bergairah setelah menghadapi situasi kritis (Waluyo, 1984).

2.3.       Kebisingan

Kebisingan merupakan salah satu dari beberapa faktor fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja. Kebisingan sangat perlu diperhatikan dalam tempat kerja karena pengaruhnya terhadap kesehatan pekerja.
Gales (1987) menyebutkan tiga alasan utama mengapa kebisingan bisa dianggap sebagai suatu masalah yang harus diperhatikan, pertama kebisingan tidak disukai orang, kedua kebisingan merusak pendengaran dan ketiga bisa berpengaruh buruk pada efisiensi kerja. Diterangkan oleh Bridger (1995) bahwa kebisingan adalah salah satu pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi. Sumber kebisingan bermacam-macam, misalnya mesin pabrik, pesawat terbang, lalu lintas kendaraan, peralatan kantor, dan lain-lain.
Lebih lanjut Bridger (1995) mengatakan bahwa kebisingan adalah bunyi-bunyian pada amplitude tertentu yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi komunikasi. Sedangkan bunyi adalah sensasi auditori yang dihasilakan oleh gelombang energi yang merambat melalui media sampai ke telinga. Bunyi mempunyai frekuensi dan amplitudo. Frekuensi akan menentukan tinggi rendahnya nada sedangkan amplitudo akan menentukan intensitas atau kadar suara. Bunyi dapat diukur secara obyektif sedangkan kebisingan adalah fenomena subyektif. Oleh karena itu kadang-kadang kebisingan juga disebut sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan. Satuan ukuran frekuensi adalah Hertz (Hz) sedangkan ukuran amplitude adalah Decible (dB).
Telinga manusia hanya dapat mendengar dengan frekuensi 16-20.000 Hz dan amplitude 0-140 dB. Lamanya menghadapi kebisingan dan kontinyu tidaknya kebisingan menjadi factor terjadinya gangguan pada pendengaran manusia. Tingkat maksimal yang diperbolehkan untuk menghadapi kebisingan selama 8 jam kerja secara kontinyu adalah 85 dB. Jika tingkat kebisingan berada diantara 65-70 dB, daya konsentrasi mulai berkurang dan pembicaraan mulai terganggu. Kondisi ini tidak sesuai bagi pekerjaan-pekerjaan kantor. Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada tingkat 55-60 dB. Tetapi jika hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, misalnya mesin-mesin di pabrik, pekerjaan di bengkel, yang tingkat kebisingannya sukar untuk diturunkan, sehingga telinga harus diproteksi. Ada dua bentuk alat proteksi pendengaran yaitu earplugs dan earmuffs. Earplugs memiliki bentuk yang lebih kecil, mudah dibawa kemana-mana, nyaman, lebih murah daripada earmuffs. Akan tetapi membutuhkan waktu penyesuaian yang lebih lama.

2.4.            Shift Kerja

Shift kerja dijalankan jika dua karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama. Secara individual, shift kerja berarti hadir pada suatu tempat yang sama (yang disebut shift kerja kontinyu) atau dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi).
Beberapa sistem kerja menggunakan 8 jam per hari selama 5 hari per minggu. Dengan kecenderungan ini, maka jumlah hari dan jam kerja semakin berkurang, menjadikan karyawan memperoleh weekend dua hari untuk bebas kerja sehingga bias mengurangi kelelahan kecelakaan kerja dan memperoleh kapasitas kerja baru. Saat ini hampir semua industri menerapkan sistem produksi kontinyu. Selain untuk mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin industri yang umumnya mahal, juga untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Akibatnya karyawan bekerja pada malam hari yang berakibat menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga dan sosial serta masalah ksehatan. Bekerja pada malam hari akan menurunkan produktivitas dan meningkatkan kecelakaan kerja.
Sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing-masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore, dan malam.Shift kerja yang menggunakan pembagian dari jam 08.00-16.00, 16.00-24.00, 24.00-08.00 mempunyai beberapa kelebihan baik secara fisiologis maupun sosial.
Ada dua pesrsyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift, yaitu kehilangan tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan meminimalkan kelelahan dan harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan kntak sosial.
Perencanaan shift yang banyak digunakan adalah sistem 2-2-2 yang dinamakan metropolitan rota dan sistem 2-2-3 yang dinamakan continental rota. Keduanya adalah rotasi jangka pendek yang memenuhi persyaratan ergonomic.
Pemilihan pada model shift kerja sering dipengaruhi oleh alasan-alasan ekonomi, dan organisasional. Seseorang menerima sistem shift kerja tertentu ditentukan oleh keseimbangan pertimbangan professional dan personal, termasuk aspek fisiologis, psikologis, dan sosial. Masalah-masalah kesehatan juga bias bersumber dari penggunaan sistem shift kerja tertentu. Pekerja yang bekerja malam secara permanaen juga sering memiliki keluhan kurang tidur dan kelelahan. Kriteria yang bias digunakan untuk mempertimbangkan penggunaan suatu sistem shift kerja, diantaranya adalah panjang konsekutif shift malam harus sekecil mungkin, setiap shift malam harus diikuti sedikitnya paling tidak 24 jam istirahat, setiap rencana shift harus memiliki akhir minggu yang bebas, jumlah hari bebas pada akhir tahun harus paling tidak sebanyak dari kontinyu pekerja (Koemer, 1994).

2.5.       Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

A.           Pelecehan/Kekerasan
Pelecehan atau kekerasan dalam arti Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Dari penjelasan di atas, pelecehan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai (Usman dan Nachrowi, 2004).
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya bentuknya dapat brupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktivitas seksual bisa dianggap sebagai pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur berikut :
·      Adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku
·      Kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku
·      Kejadian tidak diinginkan oleh korban
·      Kejadian tidak menyenangkan korban
·      Mengakibatkan penderitaan pada korban.
Secara umum pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual 88,1% dilakukan oleh supervisor dan 30% oleh teman sekerjanya. Sedangkan korban 70% adalah perempuan dan sedikit sekali korban laki-laki. Besarnya korban pada perempuan ada kaitannya dengan kondisi umum dimana perempuan memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi. Namun demikian ada beberapa variabel yang berhubungan dengan pelecehan seksual, diantaranya ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada perempuan yang memiliki karakteristik usia lebih muda, pekerja baru, perempuan yang masih single, tingkat pendidikannya rendah, dan pekerja magang atau partimer.
Jadi kondisinya semakin jelas bahwa disamping harus melakukan pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan laki-laki, pekerja perempuan masih dituntut untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat kerjanya sendiri. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan pada umumnya, bahwa ancaman bisa terjadi diluar tempat kerjanya.

B.            Seksualitas
Defenisi seksualitas yang dihasilkan dari Konferensi APNET (Asia Pasific Network For Social Health) di Cebu, Filipina 1996 seksualitas adalah ekpresi seksual seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasarkan pada ciri seks secara biologis, tetapi juga merupakan suatu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain (Semaoen, 2000).

C.            Tempat kerja
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1970 yang dimaksud dengan tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat tersebut.
Dari pengertian tersebut, tempat kerja mencakup tidak hanya ruangan secara fisik sebagai tempat aktivitas kerja selama delapan jam sehari, seperti kantor atau pabrik, namun juga lokasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan karena adanya tanggung jawab dalam hubungan kerja, seperti acaraacara sosial yang terkait dengan pekerjaan, konferensi dan pelatihan, perjalanan dinas, makan siang, makan malam bisnis, atau kampanye promosi yang diselenggarakan untuk menjalin usaha resmi dengan klien dan calon rekanan, maupun percakapan lewat telepon dan komunikasi lewat media elektronik. Sehingga tempat kerja meliputi tak hanya ruang fi sik dimana kerja dilakukan selama delapan jam sehari tetapi juga mencakup semua jam kerja diluar delapan jam di lokasi-lokasi di luar ruang fi sik kantor.

D.           Pelecehan Seksual
a.    Pelecehan seksual
Pelecehan seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh yang berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang berorientasi seksual yang membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung dan/atau terintimidasi. Pelecehan seksual juga meliputi berbagai situasi di mana perilaku yang telah disebutkan sebelumnya disertakan ke dalam persyaratan kerja atau ketika perilaku yang sedemikian menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, tidak ramah atau tidak layak. Dengan kata lain, pelecehan seksual adalah:
1)   Penyalahgunaan perilaku seksual;
2)   Permintaan layanan seksual;
3)   Pernyataan verbal atau aksi fisik atau bahasa tubuh yang menyiratkan perilaku seksual, atau;
4)   Tindakan yang tidak diinginkan yang berkonotasi seksual:
a.    Orang yang menjadi sasaran telah menyatakan secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki;
b.    Orang yang menjadi sasaran merasa terhina, tersinggung dan/ atau terintimidasi oleh perilaku tersebut; atau
c.    Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi bahwa orang lain akan merasa tersinggung, terhina dan/atau terintimidasi oleh perilaku yang demikian.
b.    Tindakan yang tidak diinginkan
Tindakan yang tidak diinginkan adalah tindakan yang tidak diminta atau dipancing oleh pekerja, dan pekerja yang bersangkutan menganggap tindakan tersebut tidak diharapkan atau tidak sopan. Perilaku tidak diinginkan dilihat dari sudut pandang orang yang merasa mendapat pelecehan seksual. Dalam hal ini yang penting bahwa tindakan tersebut dipandang dan dialami oleh penerimanya, bukan maksud yang ada dibaliknya. Tindakan tidak diinginkan dapat dilihat dengan ciri:
·      Korban telah menjelaskan bahwa perilaku tidak diinginkan,
·      Korban merasa terhina, tersinggung dan / atau terintimidasi oleh perilaku, atau
·      Pelaku menyadari dengan perbuatannya akan mengakibatkan orang lain tersinggung, dipermalukan dan / atau terintimidasi oleh perbuatannya.
c.    Kewajaran terjadinya Pelecehan Seksual
Pengukuran kewajaran dalam pelecehan seksual dapat dilihat apabila perilaku tersebut mengarah kepada tindakan pelecehan seksual sehingga mengakibatkan timbul rasa tersinggung, malu atau takut. Untuk itu dapat dilakukan tes objektif yang didasarkan pada keadaan seseorang telah berusaha untuk mengantisipasi bahwa perilaku tersebut akan menimbulkan efek memalukan atau menakutkan ini.
Selain itu perilaku ini harus dipertimbangkan dalam konteks “kejadian”, perilaku tertentu bahwa tidak hanya mengacu pada tingkat seringnya kejadian, keadaan terintimidasi, dapat pula mengacu pada perbedaan keadaan.

E.            Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual yaitu:
1.        Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
2.        Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
3.        Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir.
4.        Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan mode komunikasi elektronik lainnya.
5.        Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terusmenerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Pelecehan seksual dapat terjadi apabila :
a.         Perbuatan tersebut mempunyai efek untuk menciptakan sebuah lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau menyinggung perasaan
b.        Di-quid pro quo, atau ’ini untuk itu’ yaitu suatu situasi ketika berkomitmen pengusaha, manajemen, pengawas, anggota co-manajemen atau pekerja melakukan atau berusaha untuk mempengaruhi proses hubungan kerja atau kondisi kerja atau pelamar kerja dengan imbalan seksual.
c.         Perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh korban dan menyinggung, sehingga merupakan perbuatan yang bersifat subyektif dari perspektif penerima.

F.             Jenis-Jenis Pelecehan Seksual
         Berdasarkan jenisnya, pelecehan seksual dapat dibagi menjadi :
a.    Quid Pro Quo
Quid Pro Quo berasal dari bahasa latin, yang artinya ”this for that”. Ini untuk itu. “sleep with me and you get the job”. Pelaku menerapkan sistem trading, ini ditukar itu, pekerjaan ditukar dengan sex. Jika korban menyetujui (karena terpaksa) untuk memenuhi transaksi itu maka ia akan mendapatkan pekerjaannya. Jika tidak, ia tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan itu. Peristiwa ini juga sering disebut sebagai penyuapan seksual (sexual bribery). Atau ada juga yang dimaksudkan untuk mengancam, misalnya ungkapan berikut ini: “sleep with me or you are fired”. Jika korban tidak mau menuruti transaksi itu maka ia akan kehilangan sesuatu. Misalnya pemberhentian, dipindah, ditolak, atau dohambat perjalanan karirnya. Untuk mempertahankan pekerjaannya, mungkin kareana alasan ketidakberdayaan ekonomi atau karena lebih memilih mempertahankan hidup maka ia terpaksa memenuhinya. Dalam hal ini pelaku memaksa korban untuk menyetujui transaksi yang berat sebelah. Menyetujui atau tidak bagi korban sama saja yaitu tetap mengalami penderitaan, sedangkan keuntungan tetap hanya pada pihak pelaku.
Jenis ini sering dimanfaatkan untuk tujuan, misalnya untuk promosi, penilaian performance atau berupa janji-janji mendapatkan sessuatu atau sekedar hanya menakuit-nakuti dan mengancam korban. Pada intinya pelaku menggunakan seks sebagai persyaratan untuk memperoleh sesuatu agar tidak kehilangan sesuatu. Namun apabila dalam memenuhi transaksi itu korban merasa senang atau menikmatinya karena ia juga membutuhkannya, maka kejadian tersebut tidak termasuk dalam kategori sebagai pelecehan seksual. Hal itu mungkin merupakan jenis hubungan percintaan dan lainnya.
b.    Hostile Environment
Hostile Environment berkaitan dengan suasana atau lingkungan organisasi yang dicirikan oleh keadaan yang penuh dengan simbol, ucapan, tulisan, tindakan yang berkonotasi seksual yang mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan pada para korban. Berbeda denagn quid pro quo, dalam Hostile Environment ini tidak ada unsur pertukaran atau syarat seksual yang harus dipenuhi korban.
Bentuknya bisa berupa tindakan fisik misalnya, penyerangan seksual yang dilakukan secara agresif dan memaksa, sentuhan atau rabaan pada bagian tubuh tertentu, berusaha menempel sangat dekat denagn tubuh korban, mempertontonkan bahan-bahan pornografi. Juga bisa dengan berbentuk non fisik atau berupa bahasa misalnya merayu, ajakan kencan, membuat lelucon porno, mengucapkan kata-kata miring tentang wanita dan sebagainya.
Motivasi pelaku adalah untuk memuaskan diri sendiri, melakukan intimidasi, permusuhan, atau ingin mendapatkan pengakuan bahwa dia adalah ‘jagoan’ mengerjai kaum wanita di lingkunagan kerja dan mungkin sekedar ingin mendapatkan penerimaan secara sosial dari lingkungannya yang penuh dengan konotasi seks. Karakteristik dari lingkungan yang meiliki potensi terjadinya pelecehan seksual antara lain: program SDM tidak berjalan dengan baik, tidak memiliki peraturan dan kebijakan tentang pelecehan seksual.

G.           Efek Terhadap Korban
Pelecehan seksual menimbulkan  konsekuensi negatif secara fisik, emosi, mempengaruhi performance kerja korban. Efek langsung yang dialami korban adalah depresi dan stress pasca trauma. Pengalaman traumatik karena pelecehan seksual bisa berlangsung sangat lama. Pada beberapa kasus, efek negatifnya berlangsung selama 11 tahun. Sebenarnya bukan yang menjadi korban secara langsung saja yang menderita akibat pelecehan seksual ini, tetapi juga mengenai pekerja perempuan lain yang menyaksikan atau menjadi saksi ketika pelecehan seksual itu terjadi. Para saksi tersebut juga mengalami stress meskipun tarafnya tidak seberat korban utama. Hal inilah yang disebut sebagai by stander stress. Hasil penelitian pada para korban pelecehan seksual ditemukan bahwa 96% mengalami masalah emosional, 45% mengalami masalah penurunan performasi kerja, 35% mendapat gangguan secara fisik.
Masalah emosional yang dialami oleh korban seperti ketakutan, malu, sakit hati, jijik, bingung, merasa terhina dsb. Masalah yang berhubungan dengan performasi kerja yakni kinerja menurun, banyak membuat kesalahan, absensi tinggi dsb, sedangkan gangguan fisik yang diderita korban adalah lemah tidak memiliki tenaga, tidak memiliki nafsu makan dsb.

H.           Teori Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual
Beberapa teori yang disajikan dimaksudkan untuk menganalisis terjadinya praktek pelecehan di tempat kerja dengan menggunakan perspektif yang multidimensi. Karena pada kenyataannya, pelecehan seksual tidak dapat diteropong dari satu sudut pandang saja. Sebab sampai hari ini satu teori pun tidak dapat menganalisis secara tuntas kasus pelecehan seksual. Demikian juga belum ditemukan satu litraturpun yang dapat menjelaskan sebab yang paling penting atau dominan dalam menentukan terjadinya pelecehan seksual. Penggunaan beberapa model mungkin akan menjadi jawaban yang lebih konfeherensif dalam menganalisis penyebab terjadinya pecehaan seksual di tempat kerja.
a.    Model tradisional
Model ini memandang bahwa pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan psikologis atau dilakukannya orang yang sedang sakit. Pelecehan seksual adalah orang-orang yang memiliki dorongan seksual yang tinggi dan tidak dapat mengontrolnya. Model ini memandang perempuan sebagai objek seksual. Oleh karena itu ia langsung mencari sasaran jika dorongan seksualnya mulai bekerja. Model ini juga mempercayai bahwa dorongan seksual dipicu oleh perilaku korban yang genit dan merangsang. Namun model ini tidak banyak digunakan karena dalam menganalisis terjadinya pelecehan seksual, tidak memperhitungkan variabel lain dan konteks sosial dimana hal itu terjadi.

b.   Model Alamiah
Model ini menganggap bahwa manusia memiliki 2 dorongan dasar yang penting dalam hidupnya, yaitu dorongan seksual dan agresi. Perilaku pelecehan ini dianggap sebagai ekspresi dari kerja hormon-hormon seksual laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki dipandang memiliki dorongan seksual yang lebih besar sehingga laki-laki cenderung menjahili perempuan secara seksual, meskipun di tempat kerja. Selain itu, diasumsikan bahwa lak-laki dan perempuan secara alamiah memiliki daya tarik-menarik secara seksual, sehingga di tempat sekalipun laki-laki dan perempuan tetap akan berinteraksi seksual.
Laki-laki tidak pernah bermaksud melakukan pelecehan seksual, hal itu hanyalah sebuah hubungan yang lumrah antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu pelecehan seksual dari kaca mata model ini dianggap sebagai ekspresi normal dari kedua dorongan tersebut dan oleh karenanya laki-laki lebih sering menjadi agreesor seksual baik ditempat kerja maupun di tempat lain.

c.    Model Sosio-Kultural
Model ini memiliki asumsi bahwa laki-laki dan perempuan secara sosial kultural dibesarkan oleh suatu sistem yang menempatkan mereka sebagai dua belah pihak yang tidak setara. Laki-laki tumbuh dan dibesarkan dalam suatu ekspetasi tugas dan peran tertentu lebih yang lebih superioir dibandingkan dengan perempuan. Pelecehan seksual dianggap merupakan refleksi dan manifestasi dari kultur  patriaktris dalam dunia kerja, dimana laki-lakiadalah yang mendominasi power, pembuat aturan dan pengontrol pekerja perempuan. Menurut model ini, pelecehan seksual adalah salah satu mekanisme untuk mempertahankan dominasi laki-laki terhadap peempuan, baik secara ekonomik maupun dalam bidang pekerjaan.

d.   Model feminist
Model feminist menganggap pelecehan seksual bukan saja merupakan tindakan yang menyimpang, tetapi juga merupakan manifestasi dari pola-pola budaya interaksi antara laki-laki dan perempuan yang lebih didasari oleh ekspetasi dari gender yang mendominasi. Jika tempat kerja didominasi oleh permpuan maka karakteristik yang diharapkan adalah tempat kerja yang lemah lembut, kasih sayang, penuh perhatian, memberi dukungan, pengertian, toleransi menghindari konflik, menjaga hubungan baik dan sifat-sifat lain yang diharapkan muncul dari perempuan. Sedangkan jika yang mendominasi maka tempat kerja memiliki krakteristik realistik, rasional, kompetitif, penuh tantangan, asertif dan sifat laki-laki lainnya
Pelecehan seksual secara potensial secara potensial lebih banyak terjadi jika perempuan bekerja pada lingkungan yang didominasi laki-laki. Jika perempuan bekerja pada tempat kerja yang didominasi laki-laki, pertama kali akan dilihat dan diperlukan sebagai perempuan oleh laki-laki dan baru kemudian sebagai pekerja. Bagi laki-laki identitas gender pada perempuan lebih penting dari pada identitas pekerjaannya. Jadi gender adalah persepsi laki-laki mengenai perempuan. Ironinya, persepsi laki-laki tentang perempuan tidak selalu benar. Contoh, sikap ramah yang ditunjukkan perempuan di tempat kerja umumnya dipresepsikan oleh laki-laki sebagai minat terhadap seksual. Laki-laki berpikir bahwsa secara umum perempuan ingin menunjukkan interet seksualnya dengan bertingkah laku ramah di hadapan laki-laki. Mispersepsi ini terjadi karena laki-laki memiliki imajinasi mengenai seks lebih banyak daripada perempuan. Bahkan, menurut laki-laki tertentu, seks bisa terlihat dimana-mana. Sebagaimana seks itu sendiri telah berada dalam fikirannya.

e.    Model Organisasi
Menurut model ini pelecehan seksual akan lebih mudah terjadi jika kondisi yang ada dalam organisasi memungkinkannnya untuk terjadi. Hal ini berhubungan dengan kebijakan organisasi misalnya mengenai jam kerja malam bagi karyawan perempuan, atau tentang peraturan yang mengharuskan pekerjaan perempuan berpakain sexy. Lingkungan kerja yang penuh dengan hal-hal yang berkonotasi seksual juga berkorelasi dengan kejadian pelecehan seksual. Lingkungan yang seperti ini akan melahirkan kebingungan dalam membedakan mana yang termasuk pekerjaaan dan mana yang termasuk masalah pribadi.
Tingginya kejadian pelecehan seksual juga memiliki korelasi dengan manajemen yang permisif dan organisasi yang toleren terhadap kejadian pelecehan seksual. Organisasi yang toleren biasanya ditandai antara lain : tidak memberi hukuman kepada pelaku, menolak menangani kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi. Jika organisasi terlalu toleren terhadap kejadian pelecehan seksual akan dipresepsikan sebagai tingkah laku yang sehari-hari dapat diterima secara sosial. Jika pelaku berpendapat seperti ini, maka pelecehan seksual akan berulang-ulang terus kejadiannya.
Penggolongan ingroup dan outgroup pada karyawan yang biasanya terjadi di organisasi juga bisa sangat membahayakan terjadinya pelecehan seksual. Menurut teori identitas sosial, orang-orang yang dipresepsikan sebagai outgroup akan mendapat perlakuan kurang wajar, kurang mendapatkan penghargaan, dipandang memiliki atribusi negatif, dan dianggap sebagai orang lain yang berasal dar luar kelompoknya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual lebih banyak terjadi pada perempuan yang dikategorikan sebagai outgroup oleh laki-laki. Perempuan yang sering dimasukkan kategori outgroup dalam organisasi antara lain : pekerja baru, pekerja magang, pekerja part time, rekanan kerja dan mungkin tkw. Pekerja perempuan inilah yang sering mendapat pelecehan seksual di tempat kerja.
Demikian juga sisitem hirearki yang dianut oleh organisasi yang cenderung menjadikan laki-laki sebagai atasan yang memegang power. Sebaliknya, perempuan secara hirarki berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan biasanya memegang kedudukan yang tidak penting, atau berada pada posisi yang tidak menentukan wujudnya misi-msisi organisasi. Pelecehan seksual yang terjadi menurut model ini dipandang sebagai bntuk ekspresi lain mengenai rendahnya penilainan organisasi terhadap perempuan di tempat kerja.
Jadi ada keterkaitan antara power dan gender. Dimana dalam banyak hal laki-laki lebih memiliki power dari pda perempuan. Pelecehan seksual yang terjadi karena laki-laki menggunakan powernya untuk mendapatkan sesuatu. Pelecehan seksual terhadap pada para TKW atau pada para pembantu oleh majikannya, sekertaris oleh bosnya dan sebagainya adalah bentuk dari penggunaan yang salah dari power. Penggunaan power yang salah ini telah mempersempit ruang gerak perempuan secara sosial untuk berpartisipasi secara penuh sebagai pekerja di masyarakat.

f.    Model Empat Faktor
Model ini menggabungkan 4 aspek prakondisi yang dianggap penting dalam menentukan terjadinya pelecehan seksual. Prakondisi tersebut meliputi : motivasi pelaku, kemampuan pelaku untuk menggagalkan rencana, tersedianya faktor eksternal yang menghambat rencana dan perlawanan dari korban.
Prakondisis pertama. Berkaitan dengan latar belakang yang mendasari perilaku melakukan pelecehan seksual. Faktor-faktor yang memotivasi melakukan pelecehan seksual. Misalnya adanya kebutuhan berkuasa, mengendalikan atau merasa tertarik kepada perempuan korbannya. Bisa juga laki-laki berusaha menunjukkan penerimaannya terhadap pekerja-pekerja baru dengan melakukan tindakan-tindakan atau kata-kata yang tidak terpuji terhadap perempuan itu misalnya dengan melontarkan gurauan yang berkonotasi seks, memberi komentar jorok dan menyentuh dan bentuk perilaku seksual lainnya.
Pra kondisi kedua adalah mengatasi hambatan-hambatan yang berasal dari dalam diri sendiri hingga pelaku bisa melakukan pelecehan seksual. Pra kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan diri dan seberapa banyak pelaku yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang moral, kemampuan empati terhadap korban, serta tentang hak dan martabat perempuan yang harus dihormatinya.
Pra kondisi ketiga berhubungan dengan faktor-faktor situsional atau eksternal yang bisa mempermudah atau bahkan menghambat terjadinya pelecehan seksual. Pelecehan ini bisa dihambat melalui lingkungan kerja yang profesional, pennegakkan peraturan yang menjunjung tinggi nilai moral, komitmen pimpinan dan manajemen dalam menolak dan tidak memberi toleransi pada tindakan seksual.

g.   Prakondisi keempat berhubungan dengan tingkah laku, sikap, dan kebisasaan perempuan yang memungkinkan dan tidak memungkinkan terjadinya pelecehan seksual. Prempuan harus memiliki kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Perempuan juga harus menjaga diri dengan bersikap da berpakaian yang profesional dan berhati-hati dalam setiap kesempatan. Dengan cara ini perempuan dapat mengurangi resiko sebagai korban pelecehan seksual.

BAB 3 PEMBAHASAN


3.1.       Studi Kasus 1

Pelecahan seksual pada perusahaan PT UEDE Indonesia

Rabu, 15 juni 2016 pada koran online  Tribun Jateng

Suami korban pelecehan seksual oleh rekan kerja dan atasan di sebuah pabrik mebel di Kawasan Industri Terboyo, Kota Semarang, S, mengaku telah bertemu dengan pihak PT UEDE Indonesia tempat dimana istrinya dan keenam pelaku bekerja. S mengatakan, dari pertemuan tersebut pihak perusahaan mengatakan keenam pelaku telah dikeluarkan dari perusahaan. "Saya sudah bertemu dengan pihak perusahaan, perusahaan berkomitmen membantu istri saya yang menjadi korban pelecehan seksual oleh enam orang rekan kerja dan atasannya," kata S kepada Tribun Jateng, Rabu (15/6/2016). Selain itu, lanjut S, pelaku juga ada yang sudah meminta maaf padanya melalui pesan singkat. "Ada pelaku yang sudah sms saya dan meminta maaf, tapi yang lain belum," katanya. Sementara itu, HRD PT UEDE Indonesia yang berada di Jalan Industri Terboyo Timur menolak memberikan komentar. "No komen," cetus perwakilan HRD bernama Sasa tersebut.
Kapolsek Genuk, Kompol M Ridwan, mengatakan pihaknya akan melakukan pemeriksaan terhadap korban dan saksi terkait pelecehan seksual yang dialami oleh J, pekerja bagian packing PT UEDE Indonesia. J melaporkan enam orang yang dua di antaranya adalah atasannya di perusahaan mebel tersebut lantaran telah mengalami pelecehan seksual sejak dua tahun lalu. "Besok (Kamis 16/6/2016) akan kami mintai keterangan korban dan saksinya, sementara ini masih sebatas pengaduan saja," kata Ridwan kepada Tribun Jateng, Rabu (15/6/2016). Menurut Ridwan, untuk kasus pelecehan seksual yang dialami oleh J ini pihaknya akan melakukan gelar perkara bersama dengan Unit PPA Sat Reskrim Polrestabes Semarang. "Nanti kami akan gelar perkara bersama dengan PPA Polrestabes Semarang, agar jelas semuanya," katanya. Sebelumnya, seorang wanita buruh pabrik mebel di Kawasan Industri Terboyo, Kota Semarang, menjadi korban pelecehan seksual oleh enam orang pria yang tak lain adalah atasan serta rekan kerjanya.
Korban bernama J (33) warga Kecamatan Buntur, Kabupaten Demak dipaksa (maaf) onani oleh keenam terlapor. Keenam terlapor tersebut berinisial W, AM, AS, AM, AM dan IS. Keenam pelaku bergantian melecehkan korban mulai dari tahun 2014 hingga tahun 2016. Bahkan korban pun sudah tak tahu berapa kali para pelaku melecehkannya. "Kalau M empat kali, yang lain itu sudah tidak tahu berapa kali," kata J kepada Tribun Jateng, Selasa (14/6/2016). J mengatakan, dia takut melaporkan kejadian tersebut lantaran diancam akan dipindahkan ke bagian kerja yang lebih berat. "Jika tidak mau dipindah bagian ke kerja yang berat, bahkan kalau melapor akan dipecat," kata J. Menurut J, perlakuan tidak senonoh itu mulai didapat sejak dia dipindah ke bagian paking. Di bagian paking, hanya J sendiri perempuan, sisanya laki laki. "Awalnya cuma colek colek bagian pantat, lalu ada yang peluk dari belakang. Hingga dipaksa melakukan itu," katanya.
Enam pelaku kejahatan seksual terhadap J, buruh pabrik mebel PT UEDE Indonesia telah mengakui perbuatan tersebut. Keenam pelaku itu mengakui perbuatannya saat pemeriksaan di Polsek Genuk, Kamis (16/6/2016). Hal itu dikatakan oleh suami korban, S. S mengatakan, saat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Unit Reskrim Polsek Genuk dan Unit PPA Sat Reskrim Polrestabes Semarang, keenam pelaku mengakui perbuatannya. Saat diperiksa itu, para pelaku membawa anak dan istrinya. Bahkan beberapa ada istri dari pelaku yang dalam kondisi hamil tua. "Ada yang hamil istrinya, ada yang anaknya masih menyusu, ada yang anaknya masih kecil. Semua pelaku bawa anak istrinya waktu diperiksa," kata S kepada Tribun Jateng.
S mengatakan, saat diperiksa itu, para pelaku beserta istri masing masing memohon agar J mencabut laporannya. Bahkan menurut S, pelaku dan istrinya menangis memohon agar J mengurungkan niatnya melanjutkan kasus ini. "Mereka menangis, istrinya memohon mohon sampai nangis agar istri saya mencabut laporannya," katanya. S mengatakan, dia dan istrinya tidak tega melihat istri dan anak pelaku. Terlebih para pelaku telah dipecat dari pekerjaannya di PT UEDE Indonesia. "Saya sama istri kasihan sama anak istri pelaku, para pelaku sudah dipecat. Istri pelaku bilang kalau suaminya dipenjara yang menghidupi mereka nanti siapa. Saya jadi bimbang antara rasa kemanusiaan dan hukuman untuk para pelaku," kata S. Terkait pencabutan laporan itu, S mengatakan akan merembukkan dulu dengan keluarganya. "Rasa kemanusiaan saya tersentuh, saya rembukkan dulu sama keluarga," katanya. (Tribun Jateng/Radlis)
Sumber studi kasus : [koran online Tribunnews]

3.2.       Analisis Studi Kasus 1

a.    Jenis pelecehan seksual yang terjadi pada kasus J di PT UEDE merupakan jenis quid pro quo dimana pada pelecehan seksual tersebut pelaku menerapkan prinsip tranding, ini ditukar itu pekerjaan ditukar sex. Jika korban menyetujui (karena terpaksa) untuk memenuhi transaksi itu maka korban tidak akan dipindahkan tetapi jika korban menolak melakukkanny atau melaporkannya maka korban akan dipindahkan ke bagian pekerjaan yang lebih berat hingga ancaman dipecat apabila melaporkan perbuatan pelaku. Tujuan dari pelaku sangalah jelas pelaku ingin menakut-nakuti atau mengancam korban sesuai dengan toeri yang ada motivasi dari pelaku yang melakukan pelecehan seksual jenis quid pro quo sebagai persyaratan untuk memeperoleh sesuatu agara tidak kehilangan sesuatu.
b.    Efek yang dialami korban  J setelah mendapat pelecehan seksual, korban J menjadi takut untuk melaporkan tindakan senonoh dari rekan kerjanya yang berjumlah 6 orang tersebut. pelecehan seksual tersebut berawal dari tindakan beruapa colekan bagian pantat, pelukan dari belakang. Karena rasa takut dan tertekan akibat ancaman yang didapatkan korban J. Para pelaku semakin bertambah berani melakukan pelecehan seksual yang berupa hubungan seks yang dilakukan secara bergantian oleh pelaku terhadap korban J.
c.    Teori penyebab terjadinya pelecehan seksual pada kasus ini yaitu menggunakan teori model empat faktor dimana teori ini menjelaskan tentang 4 faktor prokondisi yang dianggap penting dalam menentukan terjadinya pelecehan seksual.
1)        Prakondisi pertama yaitu berkaitan dengan latar belakang yang mendasari pelaku melakukan pelecehan seksual. Pada kasus dijelaskan bahwa korban J mendapat pelecehan seksual mulai saat dia dipindahkan ke bagian packing tersebut. pada bagian ini dominan pekerja yaitu laki – laki. Pelaku yang mekalukan pelecahan seksual merupakan pegawai lama yang ada dibagian packing. Oleh sebab itu terdapat keseuaian antara teori dengan kasus yaitu motivasi pelaku melakukannya karenaada kebutuhan untuk berkuasa, menunjukkan adanya penerimaan terhadap pekerja baru.
2)        Prakondisi kedua yaitu mengatasi hambatan yang berasal dari diri pelaku sehingga dapat mencegah tindakan untuk tidakmenurut motivasinya. Disini pada studi kasus pelaku semakin tambah berani melakukan pelecehan seksual disebabkan banyaknya pelaku atau rekan pelaku lainnya yang melakukan pelecehan seksual pada korban. Korban muali dilecehkan seja 2014 hingga 2016 yang dilecehkan secara bergantian oleh  6 pelaku.
3)        Prakondisi ketiga yaitu barhubungan denga situasional atau eksternal yang bisa mempermudah atau bahkan menghambat terjadinya pelecahan seksual. Pelecehan seksual yang terjadi pada kasus dijelaskan bahwa korban J mengalami pelecehan seksual saat shift kerja dimana semua perkerjanya laki-laki dan hanya dia saja yang perempuan. Oleh sebab itu dengan situasi yang seperti  itulah memudahkan pelaku untuk melakukan pelecahan seksual pad korban J.
4)        Prakondisi keempat yaitu berhubungan dengan tingkah laku sikap, dan kebiasaan perempuan yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual. Pada studi kasus tidak ditemukan tingkah laku korban yang sifatnya menggoda para pelaku atau semacamnya. Namun korban J hanya merasa ketakutan saat menerima perbuatan tersebut sehingga dia tidak berani melaporkan bahwa dirinya telah dilecehkan secara seksual selama dua tahu oleh 6 rekan kerjanya.
d.   Upaya yang dapat digunakan untuk mereduksi pelecehan seksual ditemapat kerja
1)        Perlu adanya training atau penyuluhan mengenai keterampilan berempati secara singkatnya perlu memperkuat kemampuan mengatasi keinginan – keinginan yang tidak rasional atau pelecehan seksual.
2)        Menyediakan prosedur dan peraturan yang tegas mengenai pelecehan seksual, sangsi bagi pelaku, dan menciptakan lingkungan kerja yang profesional, memperkuat lingkungan kerja.
Hal-hal yang dapat dilakukan korban ketika akan mendapat pelecehan seksual korban dapat menghindari temapat-tempat tertentu, belajar bersikap asertif, harus menjaga atmosfir pada tempat kerja yang profesional dengan berpenampilan profesional juga.


3.3.       Studi Kasus 2

30 Jam Tak Tidur, Mita Diran si Gadis Copywriter Meninggal Dunia

16 Desember 2013
Berita kematian seorang gadis muda berprofesi sebagai copywriter di agency, Y&R (Young & Rubicam) Asia karena 30 jam tidak tidur menggemparkan ranah Twitter Minggu sore (15/12/2013).
Gadis muda bernama Mita Diran tersebut bekerja tak kenal waktu selama tiga hari tanpa tidur. Hal itu diketahui dari twitter terakhir yang ditulisnya pada pukul 05:47 PM Sabtu 14 Desember 2013.
Twitter terakhir Mita Diran tersebut berbunyi: "30 hours of working and still going strooong," tulis Mita melalui akun Twitternya, @mitdoq. Sehari setelah menulis di Twitter tersebut, teman-teman di twitternya dikagetkan dengan kabar meninggalnya Mita Diran pada Minggu 15 Desember 2013. Sebelum ramai di Twitter, kabar duka ini muncul untuk pertama kalinya di jejaring sosial Path, di mana sang ayah, Yani Syahrial mengabarkan bahwa sang anak tumbang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). "Hi everyone, since last night and until now my daughter who is a copywriter in Y&R in coma in RSPP. Chances not very good. She collapsed after continuous working overtime for 3 days last night. Working over the limit. I have not slept since then," tulis Yani di Path-nya.
Di Twitter, disebutkan juga oleh teman-temannya bahwa selama bekerja ekstra itu gadis cantik berambut pendek ini sempat mengonsumsi minuman berenergi yang memiliki kafein tinggi.
Setelah pulang kantor usai bekerja 30 jam, Mita akhirnya pulang ke rumah sebentar dan pergi lagi karena sudah berjanji dengan temannya. Saat bertemu dengan temannya yang datang dari Kuala Lumpur, di sebuah restoran pizza yang terletak di kawasan Gunawarman Jakarta, Mita mengalami collaps. Saat collaps, teman-temannya membawa Mita ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Namun Mita terus mengalami koma sejak itu.
Kabar meninggalnya Mita Diran dibenarkan oleh pihak Y&R Group Indonesia, tempat ia bekerja. Bahkan, demi menghormati Mita yang dikenal sebagai karyawati murah senyum dan ceria, pihak Y&R Group Indonesia meliburkan satu hari seluruh karyawannya, hanya untuk mengantarkan jenazah gadis cantik itu ke peristirahatan terakhir, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut pada Senin 16 Desember 2013 pukul 10:00 WIB."Tomorrow, December 16, we will close the office for the day to pay our last respects to Mita at her funeral at Jeruk Purut cemetery at 10 AM," tulis akun @yrindonesia
Sumber : http://health.liputan6.com/read/775867/30-jam-tak-tidur-mita-diran-si-gadis-copywriter-meninggal-dunia?wp.hdln=


3.4.       Analisis Studi Kasus 2

Berdasarkan studi kasus Kematian dari Mita Diran, aspek psikososial yang berpengaruh adalah Peran Shift Kerja
a.         Tidak adanya pembagian shift kerja.
Pada kasus di atas diketahui bahwa Mita Diran tidak melakukan shift kerja yang sesuai. Sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing – masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift pagi, sore, dan malam. Namun, ia malah bekerja selama 30 jam nonstop tanpa istirahat.
b.         Pengaruh fisik maupun psikis yang disebabkan oleh kesalahan shift kerja antara lain :
a)    Kurangnya waktu untuk istirahat dan tidur
Hal ini dapat menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Tak hanya itu, kurang tidur dan istirahat juga memicu produksi hormon cortisol atau hormon stres yang juga memicu kinerja jantung yang lebih cepat.
b)    Munculnya penyakit
Penelitian yang dilakukan oleh University College pada tahun 2012 mengungkap bahwa stress yang berlebihan bisa mengeraskan pembuluh darah arteri. Nantinya hal ini juga bisa menyebabkan serangan jantung. Hal tersebut terjadi terutama ketika seseorang terlalu memforsir tubuhnya untuk bekerja dan kurang istirahat. Tak hanya itu, mengonsumsi minuman berenergi juga bisa menambahkan stress pada organ tubuh. Ketika tubuh sedang lelah dan seseorang minum minuman berenergi, organ tubuh akan dipaksa untuk bekerja lebih keras meski tengah kelelahan.
c)    Munculnya gangguan tidur
Sesuai denga isi berita yang menyatakan bahwa “Setelah pulang kantor usai bekerja 30 jam, Mita akhirnya pulang ke rumah sebentar dan pergi lagi karena sudah berjanji dengan temannya” Hal ini memungkinkan bahwa tidak adanya rasa kantuk akibat dari efek bekerja non stop tersebut sehingga kemungkinan untuk gejalan akibat kurangnya tidur dapat muncul.
d)   Keselamatan Kerja
Kasus Mita Diran pada aspek ini bepengaruh pada ketidaktepatan rotasi shift kerjanya yang berperan penting dalam keselamatan dalam bekerja. Akibatnya Mita Dirga mengalami collaps, kemudian koma sejenak dan akhirnya meninggal dunia
c.       Upaya yang dapat dilakukan dalam menghindari hal yang tidak diinginkan seperti kasus Mita Diran ini
1)    Pengaturan jam kerja dalam sistem shift diatur dalam Undang-Undang no.13/2003 mengenai Ketenagakerjaan yaitu diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
§  Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau badan hukum lainnya (selanjutnya disebut “perusahaan”) ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 jam per-hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat 2 huruf a Undang-Undang No.13/2003)
§  Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 jam per minggu (Pasal 77 ayat 2 Undang-Undang No.13/2003).
§  Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40  jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat 2 Undang-Undang No.13/2003).
2)    Setiap perusahaan perlu memperhatikan tingkat stres para pegawainya. Ini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti kasus Mita Diran, copywriter Young & Rubicam yang meninggal dunia setelah bekerja 30 jam tanpa henti. Hal ini juga beperngaruh pada penetapan dan pengaturan jadwal shift kerja
§  Sisi organisasi. Hal-hal seperti struktur organisasi yang tidak jelas, deskripsi pekerjaan yang tidak menentu, dan tenggat waktu dapat memicu stres bagi pekerja.
§  Hubungan antarmanusia di lingkungan kerja. Komunikasi yang baik antarpekerja akan meminimalisir dampak dampak yang dapat ditimbulkan oleh berbagai aktivitas kerja seperti kelelahan, stress yang berakibat pada kecelakaan kerja

3.5.       Studi Kasus 3

Ratusan Buruh Demo Pabrik Kayu di Lumajang

TEMPO.CO, Lumajang - Ratusan buruh pabrik kayu PT PSI melakukan aksi demonstrasi, Selasa, 26 April 2016, di Desa Kunir Kidul, Kecamatan Kunir, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Buruh pabrik milik investor asal Cina yang baru satu tahun berdiri ini menuntut upah sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK) yang telah ditetapkan pemerintah Kabupaten Lumajang.
Dalam aksi tersebut, buruh pabrik kayu yang memproduksi barecore untuk diekspor ke Cina itu diberi kesempatan untuk melakukan mediasi dengan direksi serta pimpinan perusahaan. Tidak kurang dari sepuluh perwakilan buruh pabrik ini kemudian menyampaikan aspirasi serta berdialog dengan pemilik perusahaan yang merupakan warga negara Cina itu.
Salah satu perwakilan buruh, Sisworo, mengatakan buruh sebenarnya tidak meminta yang berlebihan terhadap perusahaan. "Tuntutan buruh sesuai aturan saja, seperti hak-hak pekerja," kata Sisworo dalam pertemuan yang juga dihadiri pihak kepolisian, kecamatan, serta dinas ketenagakerjaan. Beberapa tuntutan itu antara lain upah sesuai dengan UMK, jam kerja harus tujuh jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sehingga di luar tujuh jam kerja per hari berarti lembur, jaminan keselamatan dan kesehatan, tunjangan hari raya, serta status karyawan tetap. "PT PSI harus melaksanakan aturan sesuai dengan undang-undang. Kerusakan alat operasi ditanggung perusahaan," kata Sisworo. Beberapa buruh lainnya juga menyampaikan aspirasinya bahwa perusahaan telah bertindak tidak manusiawi dengan memberi beban kerja di atas kemampuan buruh. Buruh lain mengatakan tidak ada kejelasan dalam pengupahan antara sistem borongan dan harian. Salah satu buruh sempat mengaku pada awalnya mereka diupah harian, tapi perusahaan menilai pekerjaan buruh tidak memenuhi target sehingga kemudian diubah menjadi sistem borongan. Namun, ketika borongan, kualitas barecore yang dihasilkan buruh ternyata malah buruk. Pekerja menganggap dengan upah borongan, mereka seperti dikejar-kejar waktu untuk segera selesai pengerjaannya.
Dalam sistem borongan itu, pekerja diberi target 350 lembar dikali Rp 4 ribu per lembar dan dibagi 28 orang untuk setiap line. Sehingga setiap pekerja mendapat Rp 50 ribu per hari. Namun ternyata, menurut perusahaan, kualitas produksi menurun. Sehingga kemudian sistem pembayaran diubah lagi dengan sistem per jam. "Buruh yang bekerja di atas tiga bulan dibayar Rp 6 ribu per jam, sedangkan yang di bawah tiga bulan dibayar Rp 4 ribu per jam," katanya.
Pada prakteknya, kemudian, para pekerja mengeluh ada yang setiap hari hanya mendapat Rp 22 ribu. Inilah kemudian yang membuat pekerja berunjuk rasa. Zhang Zelong, pemilik PT PSI, yang ikut menemui perwakilan buruh, melalui penerjemahnya mengatakan kalau perusahaan sudah memperhitungkan meskipun borongan, tetap sesuai dengan UMK. "Ada yang memperoleh Rp 70 ribu sampai Rp 80 ribu per hari," kata Zhang.
Namun belakangan ada masalah dengan produk yang dihasilkan pekerja hingga kemudian mempengaruhi pendapatan pekerja. Zhang bahkan menunjukkan beberapa foto barang yang dikeluhkan konsumennya dari Cina. Bahkan Zhang mengatakan ada tujuh kontainer barecore yang harus dibongkar lagi karena di dalamnya ada barang yang tidak layak untuk dikirim.
Berdasarkan pantauan Tempo, sempat terjadi perdebatan dalam mediasi tersebut. Bidang Pengawasan Disnakertrans Lumajang bahkan sempat menyatakan perusahaan bisa dipidana jika melanggar peraturan. Mediasi tersebut pada akhirnya menghasilkan sejumlah kesepakatan. Zhang bersedia memenuhi permintaan buruh ihwal UMK serta persoalan jam kerja dan hitungan lembur. Sedangkan untuk jaminan sosial tenaga kerjanya, masih akan dibahas oleh manajemen. Zhang kemudian meminta pekerja untuk berkomitmen bekerja dengan sungguh-sungguh dan menghasilkan produk yang berkualitas. Ricky Ardiansyah, Kepala Pabrik, mengatakan pabrik ini mulai produksi sejak pertengahan April 2015. Nilai investasi PT PSI lebih dari Rp 200 miliar. "Satu line saya Rp 20 miliar, di sini ada sembilan line," katanya. Belum bangunannya atau lain-lainnya. Jumlah pekerja pabrik sekitar 600 orang. Produk yang dihasilkan pabrik ini berupa barecore yang diekspor ke Cina.

3.6.       Analisis Studi Kasus 3

Berdasarkan studi kasus diatas aksi demostrasi yang dilakukan oleh buruh pabrik kayu PT PSI terjadi pada hari Selasa, 26 April 2016, di Desa Kunir Kidul, Kecamatan Kunir, Kabupaten Lumajang. Para buruh melakukan aksi demostrasi karena meraka menuntut pimpinan perusahaan agar mereka bekerja sesuai dengan undang-undang. Tuntutan yang mereka ajukan yaitu upah sesuai dengan UMK, jam kerja harus tujuh jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sehingga di luar tujuh jam kerja per hari berarti lembur, jaminan keselamatan dan kesehatan, tunjangan hari raya, serta status karyawan tetap. Sehingga bedasarkan analisis, kasus tersebut termasuk dalam tuntutan keja fisik dan tuntutan kerja mental.
1.         Tuntutan kerja fisik :
Tuntutan kerja fisik berdasarkan kasus diatas yaitu dengan adanya perubahan sistem dari harian menjadi borongan yang dialami oleh pekerja. Perubahan sistem ini dilakukan karena perusahaan menilai pekerjaan buruh tidak memenuhi target ketika diberlakukan sistem harian, sehingga diubah menjadi sistem borongan. Hal ini mengakibatkan pekerja menjadi kelelahan. Karena pekerja merasa dikerja-kejar waktuk untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga produk yang dihasilkan menjadi buruk dan merugikan perusahaan itu sendiri.
2.         Tuntutan metal
Ketidak jelasan upah buruh yang diterima akan menjadi beban mental para buruh tersebut. Para buruh akan bertanya-tanya kepada perusahaan mengenai sistem pembayaran buruh. Sehingga mereka terus memikirkan hal tersebut dan dapat mempengaruhi kualitas saat bekerja.

BAB 4 PENUTUP

4.1.       Kesimpulan
Secara umum, tuntutan kerja dibagi dalam 2 kategori, yaitu tuntutan kerja seca fisik (physical job demands) dan tuntutan kerja mental (Mental Job Demands). 
Symtom adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja. Symtom ini bisa dibagi dalam 2 kategori yaitu symptom fisik (Physical Symptom) dan symptom mental (Mental Symptom).
Menurut Bridger (1995) kebisingan adalah salah satu pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi. Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada tingkat 55-60 dB.
Shift kerja berarti hadir pada suatu tempat yang sama (yang disebut shift kerja kontinyu) atau dengan waktu yang berbeda-beda (yang disebut rotasi). Perencanaan shift yang banyak digunakan adalah sistem 2-2-2 yang dinamakan metropolitan rota dan sistem 2-2-3 yang dinamakan continental rota.
Pelecehan seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh yang berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang berorientasi seksual yang membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung dan/atau terintimidasi. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual yaitu pelecehan fisik pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis, dan pelecehan psikologis/emosional.

4.2.       Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait dengan pelecehan seksual di tempat kerja bahwasanya dalam meminimalisir kasus pelecehan seksual ditempat kerja  agar tercipta tempat kerja yang aman dan terbebas dari kasus pelecehan seksual, perlu adanya penyebarluasan kebijakan dan mekanisme pencegahan pelecehan kepada seluruh karyawan dan para penyelia sama pentingnya. Selainitu, guna memenuhi seluruh kebutuhan akan komunikasi, para pengusaha harus menyelenggarakan program di mana karyawan dan penyelia dapat mendapatkan pendidikan tentang pelecehan. Sehingga pada akhirnya, seluruh pihak harus memiliki kesadaran yang tinggi tentang berbagi cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif yang bebas dari pelecehan.



DAFTAR PUSTAKA